10 Besar Kelurahan dan Kecamatan di Surabaya Dikepung Corona, Ya Ampun

Senin, 25 Mei 2020 – 06:33 WIB
Kabag Administrasi Perekonomian dan Usaha Daerah Pemkot Surabaya Agus Hebi Djuniantoro memantau penerapan protokol kesehatan di pasar tradisional Genteng, Selasa (5/5/2020). FOTO: ANTARA/HO-Humas Pemkot Surabaya

jpnn.com, SURABAYA - Kecamatan Rungkut dan Kecamatan Krembangan memiliki jumlah warga terbanyak di Kota Surabaya yang terjangkiti COVID-19.

"Kami sudah masif melakukan sosialisasi kepada masyarakat, baik itu di wilayah perkampungan, perumahan, pasar maupun pertokoan. Tapi dalam prosesnya itu, kami menemui berbagai kendala di lapangan," kata Camat Rungkut Surabaya Yanu Mardianto, di Surabaya, Ahad.

BACA JUGA: Corona Gagal Total di 6 Kecamatan di Kabupaten Kediri

Diketahui Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya pada Kamis, (21/5) menyebutkan, terdapat 10 kecamatan di Surabaya yang mengalami kasus tertinggi COVID-19.

Kecamatan Rungkut 180, Krembangan 172, Tambaksari 101, Sawahan 87, Wonokromo 85, Gubeng 76, Bubutan 73, Mulyorejo 58, Tegalsari 55 dan Sukolilo 54.

BACA JUGA: Wali Kota Jambi: Jangan Sampai Ada Fitnah di Tengah Masyarakat

Sedangkan di tingkat kelurahan, 10 kasus tertinggi COVID-19 berada di Kelurahan Kemayoran 113, Kalirungkut 75, Kedung Baruk 61, Jepara 40.

Ngagel Rejo 39, Banyu Urip 37, Mojo 31, Morokrembangan 27, Mulyorejo 26 dan Ketintang 24.

BACA JUGA: Tetangga Kita Luar Biasa, Kapan Indonesia Bisa Seperti itu ya?

Dari data tersebut wilayah di Kecamatan Rungkut dan Kecamatan Krembangan ditetapkan sebagai dua kecamatan tertinggi kasus penyebaran COVID-19 di Surabaya.

Yanu Mardianto mengatakan ketika terjadi pandemi dan bertepatan dengan awal pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Surabaya, pihaknya masif melakukan sosialisasi kepada masyarakat, baik itu di wilayah perkampungan, perumahan, pasar maupun pertokoan.

"Kita (Pemkot Surabaya) melakukan sosialisasi kepada pemilik warung dan pengusaha terkait aturan apa saja yang boleh dan tidak saat PSBB. Khususnya protokol kesehatan yang harus disiapkan, oleh tempat usaha yang boleh buka ketika PSBB," kata Yanu.

Namun, lanjut dia, dalam prosesnya itu, pihaknya menemui berbagai kendala di lapangan seperti halnya ada orang diajak berkomunikasi bisa memahami. Namun ada pula yang masih merasa acuh.

Meski begitu, kata dia, pihaknya tak menyerah untuk tetap menyampaikan kewajiban kepada masyarakat.

"Kewajiban kita tetap menyampaikan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka paham terhadap aturan-aturan PSBB. Ketika ada yang melakukan pelanggaran juga kita tindak," ujarnya.

Selain itu, pihaknya bersama puskesmas juga aktif melakukan pelacakan di lapangan. Ketika diketahui ada warga yang terkonfirmasi positif COVID-19 dan masih berada di rumah, maka ia berkolaborasi dengan RT/RW dan Pekerja Sosial Masyarakat untuk menghubungi warga itu agar mau dilakukan penjemputan dan diarahkan ke rumah sakit.

"Sedangkan keluarga yang ditinggalkan menjadi tanggungan pemkot untuk mendapatkan pemakanan, karena dia harus isolasi mandiri. Sebab, begitu ada satu keluarga yang konfirmasi, maka dalam satu keluarga itu masuk ODP (orang dalam pemantauan)," katanya.

Hal sama juga dialami Camat Krembangan Agus Tjahyono. Ia mengatakan pada saat pihaknya bersama Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya menggelar tes cepat (rapid test) massal, rupanya banyak warga yang tiba-tiba menghilang dari rumahnya.

"Jadi pada saat tes cepat banyak yang hari H itu mereka menghilang dari kampungnya. Ibaratnya sekitar 50 orang ikut tes cepat pada saat itu, yang datang itu hanya sekitar 30 orang. Jadi 20 di antaranya itu ternyata saat kami cari di rumahnya itu tidak ada," kata Agus.

Informasinya, kata Agus, sepertinya mereka takut ikut tes cepat. Untuk itu, ia mengambil strategi lain dengan mengunjungi dari rumah ke rumah dalam pelaksanaan tes cepat tersebut.

Tak hanya itu, Agus mengakui saat proses mobilisasi warga ke rumah sakit untuk dilakukan isolasi pun juga demikian.

Meski tak banyak, ada saja warga yang menolak saat dirawat dan diisolasi ke rumah sakit.

Alasan mereka pun bervariatif, seperti ingin isolasi mandiri di rumah karena ada anak dan istri sendirian di rumah.

"Tapi akhirnya kami memobilisasi warga yang bersedia. Kemudian besoknya baru kita jelaskan orang-orang yang menolak itu akhirnya mereka mau," katanya. (antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler