jpnn.com -
JAKARTA - Laporan tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2015 yang masuk ke pengawas pemilu ternyata cukup besar. Bahkan mencapai 1.090 kasus. Namun dari jumlah tersebut, hanya 60 kasus yang ditangani penyidik kepolisian, penuntutan, hingga pengadilan.
BACA JUGA: CEMAS! 15 Kada yang Akan Dilantik, Baru Keluar Enam SK
Kondisi ini harus segera diatasi, sehingga tidak terulang kembali dalam pilkada serentak tahap kedua yang akan digelar 2017 mendatang.
Menurut anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak, dari Focus Group Discussion (FGD) yang digelar dalam rangka mencari efektifitas penanganan tindak pidana Pilkada, ada dua ide yang muncul.
BACA JUGA: Anak Buah Wiranto Sindir Habis Ahok
Yaitu, menyerahkan sepenuhnya penanganan tindak pidana pemilu pada sistem peradilan pidana. Kemudian, diusulkan agar Kepolisian dan Kejaksaan menugaskan penyidik dan penuntut untuk berada di Bawah Komando Operasi (BKO) dan bertanggung jawab pada Bawaslu.
“Jadi dibuat menjadi satu atap di Bawaslu. Ini untuk lebih efektif dan efisien. Karena batas waktu penanganan tindak pidana pemilu yang cukup singkat,” ujar Nelson, Selasa (16/2).
BACA JUGA: Sekjen Demokrat Ngotot Pemenang Pilkada Simalungun Harus Dilantik
Kelebihan lain dari sistem satu atap ini, kata Nelson, dapat menjamin integritas proses dan hasil Pemilu. Alasannya, bukan tidak mungkin ada pengaruh dari kepentingan partai politik dan peserta pemilu terhadap institusi kepolisian dan kejaksaan.
“Agar ada jaminan integritas terhadap proses dan hasil dalam penanganan tindak pidana Pemilu,” ujar Koordinator Divisi Hukum dan Penindakan Pelanggaran di Bawaslu tersebut.
Nelson juga mengemukakan ide lain yang muncul dari FGD kali ini. Yakni mengklasifikasikan tindak pidana pemilu dalam kategori perbuatan gangguan keamanan dalam pemilu. Ini dilakukan agar tindak pidana pemilu ditangani lebih spesifik.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mendagri Pastikan Pemenang Pilkada Simalungun Tak Bisa Dilantik
Redaktur : Tim Redaksi