Namun, meski peminat program meningkat drastis, program bayi tabung masih terkendala biaya yang mahal dan kurangnya SDM. Menurut CEO Morula IVF dr Ivan R. Sini SpOG biaya program bayi tabung memang terlihat relatif mahal, yakni sekitar Rp 45 sampai Rp 70 juta. "Biaya itu menyangkut dua hal, teknologi penerapan dan obat-obatan. Mungkin angkanya relatif mahal. Tapi berdasarkan survei, pasangan di Indonesia, jika gajinya diakumulasikan hasilnya antara Rp 5 juta sampai 10 juta per bulan. Kalau mereka bisa saving 20 persen tiap bulan selama dua tahun, program ini masih terjangkau,"jelas Ivan dalam press conference seminar infertilitas di RS Bunda, Jakarta, Rabu (31/8).
Namun, Ivan mengakui biaya tersebut rasanya menjadi mahal, karena program bayi tabung hingga saat ini tidak diiringi angka keberhasilan hingga 100 persen. Bahkan, dengan teknologi terbaru seperti pemilihan embrio matang dengan Kultur Blastocyst hingga penggunaan teknologi Intracytoplasmic Morphologically Selected Sperm Injection (IMSI) baru menjamin keberhasilan hingga 40 persen. "Memang itu masih jadi kendala,"ujarnya.
Meski begitu, Ivan memastikan, tingkat keberhasilan program bayi tabung akan terus meningkat. Dia mencontohkan, di Morula IVF Indonesia, RS Bunda telah lebih dari 1000 anak lahir selamat dari program tersebut. "Dan dalam masa perkembangannya, angka kelainan pada anak tidak ditemukan, jika dibandingkan dengan anak yang lahir dari konsepsi natural,"ujarnya.
Soal SDM, Ivan tidak memungkiri jika SDM spesialis bayi tabung juga masih sangat sedikit. Padahal diperkirakan sekitar empat juta pasangan yang membutuhkan bantuan terkait program bayi tabung tersebut. "Indonesia memiliki SDM bayi tabung yang masih sangat sedikit. Mungkin hanya ada sekitar 30 dokter spesialis bayi tabung. Sementara yang membutuhkan bantuan banyak sekali, ada sekitar empat juta pasangan. Terbayang kan, bagaimana kita para dokter membantu, jika SDM-nya tidak memungkinkan,"papar Ivan.
Ketika ditanya soal penyebab kegagalan bayi tabung, Ivan memaparkan ada beberapa hal yang mengakibatkan kegagalan tersebut. Yang paling sering adalah usia perempuan yang sudah melewati 36 tahun. "Idealnya di bawah 35 tahun. Karena semakin tinggi usia wanita, maka kualitas sel telur dan embrio yang ada pada tubuh wanita menjadi tidak bagus lagi. Selain itu tingkat stress dan kualitas hidup juga menjadi pemicu kegagalan bayi tabung,"ujarnya.
Tidak hanya dari sisi wanita, Ivan menegaskan, para suami juga membawa faktor kegagalan. Berdasarkan data WHO, jumlah sperma pada pria terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Bahkan, lembaga kesehatan dunia PBB tersebut terpaksa menurunkan standar jumlah sperma pria. "WHO sudah merubah standarnya tahun 1999, sperma sebanyak 20 juta itu normal. Tapi standar itu menurun pada 2010, menjadi 15 juta. Bisa kita bayangkan 10 tahun lagi, mungkin lima juta yang dianggap normal,"imbuh dia. (Ken)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kopi Tahi Gajah, Termahal di Dunia
Redaktur : Tim Redaksi