TARAKAN – Lebih dari 400 warga Tarakan terkena Human Immunodeficiency Virus Infection/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) sejak didata tahun 1997 lalu. Dari jumlah itu, 25 di antaranya tercatat telah meninggal dunia. Data ini tercatat sejak didirikannya pelayanan CST (Care, Support and Treatment) untuk penderita HIV/AIDS sejak 2009 lalu.
Dari total ODHA sebanyak 414 yang sudah terdata, disinyalir masih banyak penduduk yang belum terdata. Ini disebabkan kurangnya kesadaran warga untuk memeriksakan diri ke layanan kesehatan. Salah satu contoh pelayanan pemeriksaan gratis yang disediakan pemerintah adalah VCT (Voluntary Counseling Test). Meski gratis, warga masih enggan datang ke pelayanan tersebut.
Yang mengkhawatirkan adalah tertularnya virus tersebut kepada anak-anak atau bayi yang tidak berdosa. Layaknya fenomena gunung es, kasus ini hanya terlihat di permukaan saja, padahal jika dilihat lebih dalam, maka kasus ini tak terhingga banyaknya.
“Yang menderita ini tidak semuanya didasari perilaku buruk, karena banyak anak dan istri yang tidak berdosa akhirnya tertular oleh perilaku suaminya,” kata Kepala Seksi P2P di Dinas Kesehatan Tarakan, dr Tri Astuti seperti diberitakan Radar Tarakan (JPNN Grup), Senin (22/4)
Kepada media ini, Tri menjelaskan juga terkait pelayanan VCT di setiap Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Layanan ini terus digencarkan dengan pola jemput bola. Selain layanan untuk umum di Puskesmas, petugas pelayanan VCT juga dibagi dan melakukan jemput bola di beberapa tempat.
"Saat ini malah kita sudah bermain di hilir (tempat-tempat prostitusi, Red). Artinya, mencari kasus dan mengobatinya," tegasnya.
Termasuk adanya prostitusi terselubung yang justru sulit ditemukan, seperti prostitusi pelajar. Menurut Tri, justru perilaku inilah yang menurutnya sangat berisiko tinggi. Meskipun tidak mengatasnamakan Wanita Pekerja Seks (WPS) namun masyarakat harus lebih berhati-hati dengan prostitusi terselubung ini.(rif/ndy/fuz/jpnn)
Dari total ODHA sebanyak 414 yang sudah terdata, disinyalir masih banyak penduduk yang belum terdata. Ini disebabkan kurangnya kesadaran warga untuk memeriksakan diri ke layanan kesehatan. Salah satu contoh pelayanan pemeriksaan gratis yang disediakan pemerintah adalah VCT (Voluntary Counseling Test). Meski gratis, warga masih enggan datang ke pelayanan tersebut.
Yang mengkhawatirkan adalah tertularnya virus tersebut kepada anak-anak atau bayi yang tidak berdosa. Layaknya fenomena gunung es, kasus ini hanya terlihat di permukaan saja, padahal jika dilihat lebih dalam, maka kasus ini tak terhingga banyaknya.
“Yang menderita ini tidak semuanya didasari perilaku buruk, karena banyak anak dan istri yang tidak berdosa akhirnya tertular oleh perilaku suaminya,” kata Kepala Seksi P2P di Dinas Kesehatan Tarakan, dr Tri Astuti seperti diberitakan Radar Tarakan (JPNN Grup), Senin (22/4)
Kepada media ini, Tri menjelaskan juga terkait pelayanan VCT di setiap Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Layanan ini terus digencarkan dengan pola jemput bola. Selain layanan untuk umum di Puskesmas, petugas pelayanan VCT juga dibagi dan melakukan jemput bola di beberapa tempat.
"Saat ini malah kita sudah bermain di hilir (tempat-tempat prostitusi, Red). Artinya, mencari kasus dan mengobatinya," tegasnya.
Termasuk adanya prostitusi terselubung yang justru sulit ditemukan, seperti prostitusi pelajar. Menurut Tri, justru perilaku inilah yang menurutnya sangat berisiko tinggi. Meskipun tidak mengatasnamakan Wanita Pekerja Seks (WPS) namun masyarakat harus lebih berhati-hati dengan prostitusi terselubung ini.(rif/ndy/fuz/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Data Pasien HIV Bocor
Redaktur : Tim Redaksi