PURWOKERTO-Persoalan gizi buruk ternyata masih menjadi PR besar Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Banyumas. Ini terlihat dari masih banyaknya angka penderita gizi buruk di kabupaten ini. Bayangkan saja, dua bulan terakhir (Januari-Februari) saja sudah tercatat 29 anak yang bisa dikategorikan gizi buruk.
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat Dinkes Banyumas dr Supraptini MMr mengungkapkan penderita gizi buruk ini mayoritas dikarenakan penyakit bawaan lahir. "Kurangnya gizi, rata-rata karena asupan makanan tidak memenuhi standar. Sehingga untuk penanganannya harus ditangani penyakit dan gizinya dipenuhi," ujarnya.
Balita gizi buruk ini ada standar ukurannya, yaitu berat badang dibagi tinggi badan. Sehingga hasilnya kurang dari minus tiga standar devitrasi, baru bisa dikategorikan gizi buruk.
Sejumlah kasus temuan gizi buruk seperti terakhir diungkapkan Ketua LSM Cahaya Pratama, diakui bukan sebagai gizi buruk. Namun masuk kategori gizi kurang dan penyebabnya karena penyakit bawaan lahir. Keluarga yang langsung membawa ke rumah sakit, berarti ada kemungkinan tidak memanfaatkan saluran pelayanan seperti lewat Posyandu maupun ke Puskesmas.
"Kalau saluran itu dimanfaatkan setiap bulannya, seperti mendatangi Posyandu pasti akan mudah diketahui. Sehingga penanganannya juga bisa langsung," katanya.
Diungkapkan, tahun 2011 lalu, dari 128 balita bergizi kurang, 100 balita dipicu penyakit bawaan, yakni infeksi seperti SIPA. "Sisanya karena menderita penyakit lain seperti jantung, thalasemia, syaraf maupun genetika. Kalau yang murni karena kurang asupan makanan tidak kita temukan," tandasnya.
Upaya penanganan atau antisipasi, lanjut Supraptini, di antaranya dengan program tambahan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI). Khusus untuk warga miskin, tahun 2012 dari APBD dianggarkan sekitar Rp 65 juta. Programnya dalam bentuk memberikan bubur sebanyak 59.500 saset, disalurkan lewat 39 Puskesmas yang ada.
Disamping itu dari APBN, katanya juga ada bantuan sebanyak tiga ton biskuit. Ini juga disalurkan lewat Puskesmas. "Termasuk diambilkan dari dana bantuan operasional kesehatan (BOK) di Puskesmas untuk petugas yang memonitor penyakit di masyarakat," katanya.
Sebagian, lanjutnya juga dialokasikan untuk membantu program ini. Dialokasikan Rp 5.000/hari selama 90 hari. Rata-rata setiap Puskesmas dialokasi antara Rp 55 juta sampai 95 juta," terangnya.
Kepala Seksi Gizi Baharudin menambahkan, pasien gizi buruk dari keluarga kurang mampu bisa ditangani dengan Jamkesda dari APBD maupun dari Jamkesmas. Tahun ini besaran bantuannya naik menjadi Rp 3 juta dari Rp 1.250.000 sebelumnya. Tahun lalu penanganan gizi buruk masih memanfaatkan Jamkesda provinsi karena anggaran Rp 4 juta/pasien.
Sampai saat ini, dana Jamkesda dari APBD kabupaten untuk penanganan gizi buruk, baru 10 warga kurang mampu yang memanfaatkan.
"Proses monitoring untuk penanganan balita sebenarnya sudah berjalan baik. Setiap awal hingga pertengahan bulan dilakukan Posyandu untuk balita dan ibu hamil. Akhir bulan laporan masuk ke Dinkes. Kalau ada yang teridentifikasi kekurangan gizi bisa diketahui dan langsung ditangani,"jelasnya.
Cuma kendalanya, katanya dari jumlah balita yang ada, keluarga yang mendatangani Posyandu setiap bulannya baru sekitar 75 persen. Padahal targetnya minimal 80 persen.
Penyebabnya beragam. "Kami mengharapkan masyarakat untuk memanfaatkan Posyandu dengan baik tiap bulannya," harapnya. (san/nun)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Danau Toba Diusulkan jadi Ikon Wisata Dunia
Redaktur : Tim Redaksi