jpnn.com, JAKARTA - Ancaman krisis pangan menjadi salah satu isu global terutama karena ada prediksi ledakan jumlah populasi dunia.
Di Indonesia sendiri, diperkirakan jumlah penduduk akan mencapai 319 jiwa pada 2045 dengan laju pertumbuhan penduduk pada 2022 lalu mencapai 1,17 persen.
BACA JUGA: Intani-Pegadaian Peduli Beri Pelatihan Pertanian Organik
Tantangan besar produksi pertanian Indonesia menjadi pembahasan utama pada Seminar Nasional Pangan Hasil Focus Group Discussion Nagara Institute pada 16 Maret 2023.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertanian di Indonesia masih didominasi oleh petani kecil berlahan sempit dengan persentase mencapai 72,19 persen.
BACA JUGA: Sektor Pertanian dan Usaha Mikro Perlu Dukungan Kebijakan dan Anggaran
Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Moeldoko menilai berdasarkan persentase besar tersebut, masih ditemukan berbagai permasalahan yang mempengaruhi produktivitas petani dalam memenuhi permintaan pangan domestik.
Salah satu permasalah terbesar yang dihadapi petani kecil antara lain adalah minimnya pengetahuan agrikultur dan adaptasi teknologi yang rendah.
BACA JUGA: Bupati OKI Puji Kontribusi Besar Gubernur Herman Deru Tingkatkan Produktivitas Pertanian
“Petani kita ya begitulah, begitu ada teknologi mereka tidak semerta-merta mau menerima. Selain itu ada juga permasalahan pasca panen, dimana kalau kita bicara pasca panen itu lossnya bisa 10 persen. Bisa dibayangkan kalau 10 hektar itu berarti satu per sepuluhnya hilang," ungkap Moeldoko seperti dikutip dari keterangan resmi di Jakarta, Selasa (28/3).
Menurutnya, berbagai program pemberdayaan dan literasi petani seperti penguatan sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi pertanian dengan kurikulum pengembangan produk hasil pertanian menjadi kunci untuk meningkatkan kompetensi.
Diharapkan para petani bisa melakukan pengelolaan pertanian dan manajemen keuangan terutama dalam konteks pertanian berkelanjutan.
Selain itu, adaptasi teknologi petani juga perlu dilakukan melalui pengembangan mesin pertanian yang sesuai dengan skala lahan kecil.
"Teknologi dapat mendukung produktivitas pertanian secara maksimal dengan juga memperhatikan keberlanjutan tanpa merusak kualitas lahan pada jangka panjang," katanya.
Permasalahan kedua, lanjut Moeldokok, adanya keterbatasan akses dan ketergantungan tinggi petani akan pupuk dan bibit subsidi pemerintah yang dialokasikan secara terbatas.
Kesulitan akses permodalan petani dalam membeli pupuk dan bibit berkualitas menyebabkan kebanyakan petani masih mengandalkan bantuan dari pemerintah.
"Walau sejatinya pemerintah memang telah mempersiapkan alokasi pupuk dan bibit bersubsidi di tiap daerah setiap tahunnya, tetapi inisiatif petani dalam meningkatkan produktivitasnya secara mandiri masih perlu terus dibangun sehingga tidak terjadi kelangkaan bibit maupun pupuk terutama ketika memasuki musim tanam," bebernya.
Moeldoko mengatakan untuk meningkatkan produktivitas petani lewat ketersediaan pupuk, dalam jangka pendek pasokan kalium sebagai bahan baku pupuk juga menjadi perhatian pemerintah yang dalam hal ini masih bergantung lewat impor.
"Dalam jangka panjang, pembangunan atau investasi fasilitas produksi bahan baku pupuk serta perbaikan sistem subsidi pupuk dan jaminan ketersediaan variasi kombinasi pupuk untuk kesesuaian dengan kondisi geografis juga diperlukan dalam menunjang produktivitas pertanian di Indonesia," ujar Moeldoko.
Ketiga, kata dia, adalah perubahan iklim dan dampaknya pada siklus produksi petani.
Perubahan pola curah hujan, dan peristiwa cuaca ekstrem yang belakangan lebih sering pada akhirnya juga turut mempengaruhi hasil panen dan kualitas produksi pertanian.
"Diperparah dengan minimnya pengetahuan dan sumber daya pertanian dalam penerapan praktik pertanian berkelanjutan sehingga dampak perubahan iklim lebih sulit untuk dibendung," ujar Moeldoko.
Namun, di balik berbagai tantangan yang dihadapi oleh petani kecil, potensi produksi pertanian petani masih dapat terus dikembangkan melalui berbagai usaha dan kerjasama baik dari pemerintah dan pelaku industri penunjang seperti produsen pupuk dan bibit.
Syaratnya, lanjut Moeldoko seluruh pihak harus memaksimalkan potensi tersebut.
"Ke depannya ketahanan pangan dan mitigasi krisis pangan di Indonesia dapat tercapai sehingga stok pangan dapat lebih terjamin baik dalam segi kuantitas maupun kualitasnya," ungkap Moeldoko.
Selain itu, dengan dimaksimalkannya sumber daya manusia dan praktik penerapan pertanian berkelanjutan, perekonomian dan kesejahteraan petani kecil di Indonesia dapat diprediksikan meningkat dari sebelumnya.
Seminar tersebut dihadiri oleh sejumlah pengambil kebijakan dalam ekosistem pertanian, yakni Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Moeldoko, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi, beberapa anggota Komisi IV DPR-RI, dan sejumlah ahli pangan seperti ahli Pangan IPB Prof Dwi Andreas.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul