jpnn.com - BUKAN main besarnya gejolak pasar modal di Tiongkok ini. Untuk bisa memahaminya, perlu dilihat berapa banyak uang yang diperlukan untuk menghindarkan Yunani dari kebangkrutan ekonomi.
Uang yang hilang di pasar modal Tiongkok itu sepuluh kali lebih banyak dari utang yang diperlukan Yunani dari Zona Eropa yang hebohnya luar biasa itu. Sudah berbulan-bulan Yunani berjuang untuk mendapat utang tahap ketiga sebesar 68 miliar dolar. Sampai mengorbankan harga dirinya. Ibaratnya sampai harus menggadaikan kekayaan negaranya. Sampai sekarang pun utang itu belum bisa dicairkan.
BACA JUGA: Saat 90 Juta Orang Marah Bersama
Sedangkan uang yang hilang hanya dalam waktu tiga hari di pasar modal Tiongkok ini mencapai 3,2 triliun dolar. Hampir Rp 35.000 triliun. Hanya dalam tiga hari: tanggal 6, 7, dan 8 Juli 2015 lalu. Atau sama dengan 15 tahun anggaran negara Republik Indonesia. Kalau uang sebanyak itu yang hilang dari Indonesia, bisa dibayangkan akibatnya.
Tidak heran kalau ada ahli Amerika yang mengibaratkan gejolak itu sama dengan kejadian di AS tahun 1929. Artinya, kelesuan ekonomi yang luar biasa akan mengikutinya selama bertahun-tahun. Di AS peristiwa di pasar modal tahun 1929 itu mengakibatkan depresi ekonomi sampai lima tahun.
BACA JUGA: Dari Rencana Z sampai Kaki Infeksi
Apakah ekonomi Tiongkok akan seperti yang terjadi di AS setelah 1929? Tampaknya tidak. Para ekonom Tiongkok optimistis pertumbuhan ekonomi negara itu masih bisa 7 persen tahun ini. Rabu, Kamis, dan Jumat lalu, saat berada di Beijing, saya membaca banyak publikasi yang bernada optimistis.
Tentu saya tahu media di Tiongkok tidak independen, namun dari yang tidak tertulis pun saya menangkap optimisme itu. Apalagi, seminggu terakhir ini harga saham merangkak naik lagi. Naik 5 persen, naik lagi 3 persen, turun 1 persen, naik lagi 1 persen. Total seminggu lalu naik 8 persen.
BACA JUGA: Padepokan Listrik untuk Anak Muda Spartan
Pemerintah Tiongkok turun tangan all-out. Uang likuiditas digelontorkan terus. BUMN diminta memborong saham-saham yang bagus. Lalu tidak boleh menjualnya dalam waktu dekat. BUMN yang punya saham lebih dari 5 persen juga diminta menahan sahamnya. Untuk sementara jumlah perusahaan baru yang masuk pasar modal dibatasi.
Akhirnya disepakati margin trading-lah penyebab utama gejolak itu. Lalu dimanfaatkan para pemain besar untuk mengeruk keuntungan ribuan triliun hanya dalam beberapa hari. Orang Tiongkok yang lagi gila saham memang sangat nekat. Mereka membeli saham dengan uang pinjaman dari bank. Mereka menghitung kenaikan harga saham jauh lebih besar daripada bunga bank.
Katakanlah ada satu lembar saham seharga 1.000. Dia hanya punya uang 300. Maka dia nekat beli saham itu dengan pinjam ke bank 700. Berdasar pengalaman setahun sebelumnya, harga saham itu dalam setahun sudah menjadi 2.000. Dia bisa jual saham itu. Utang pun lunas. Masih punya saldo pula. Seperti itulah praktik margin trading itu.
Di saat harga saham di Tiongkok mencapai puncaknya 12 Juni lalu tiba-tiba banjir saham. Rupanya pedagang saham besar menjual saham secara besar-besaran. Untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Harga pun jatuh. Pasar panik. Semua ingin jual saham. Harga hancur. Bank pun menyita saham-saham yang dibeli dengan uang pinjaman bank. Banyak orang yang tiba-tiba kehilangan saham. Bahkan masih punya utang di bank.
Kalau ada uang Rp 10.000 triliun yang hilang, siapa yang untung begitu besar? Masih belum ada yang mengaku. Tapi, para ahli menganalisis pemain-pemain besar dunia dari Amerika-lah yang paling ahli memainkan pasar modal yang masih berusia muda dan belum banyak pengalaman seperti Tiongkok.
Jumat lalu muncul karikatur di harian resmi Partai Komunis China, seekor kerbau perkasa (melambangkan pasar saham New York) yang lagi mengamuk. Timur Tengah yang digambarkan di belakang kerbau tersebut sudah dalam keadaan berantakan. Di depan kerbau digambarkan Asia. Maksudnya, setelah berhasil menghancurkan Timur Tengah, sang kerbau siap menghancurkan Asia.
Kalau analis masih sulit menganalisis siapa yang untung, mereka tidak sulit melihat siapa yang menderita kerugian terbesar. Orang terkaya Tiongkok asal Dalian, Wang Jianlin, kehilangan kekayaan sebesar Rp 80 triliun hanya dalam waktu tiga hari. Wang adalah tokoh yang tahun lalu membeli saham klub sepak bola Spanyol Atletico Madrid.
Perempuan terkaya Tiongkok Zhou Qunfei, pendiri Lens Technology, kehilangan separo kekayaannya yang Rp 90 triliun. Zhou kehilangan kekayaan Rp 40 triliun dalam tiga hari. Tapi, dia masih punya kekayaan Rp 50 triliun.
Tentu lebih banyak para pembeli saham dari masyarakat biasa yang meskipun kehilangan kekayaannya cuma jutaan rupiah, tapi itu sudah meliputi seluruh kekayaannya. Bahkan masih punya utang di bank. Jutaan masyarakat biasa yang menderita seperti itu.
Saat tulisan ini terbit, saya masih di Tiongkok. Tepatnya di Rumah Sakit Tianjin. Untuk kontrol rutin enam bulan sekali setelah menjalani transplantasi hati di rumah sakit tersebut delapan tahun lalu. Saya tidak merasakan gejolak pasar modal itu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ekonomi juga berputar seperti tidak terjadi apa-apa.
Begitu kuat ekonomi Tiongkok ini. Begitu tahan diguncang begitu kuat. (*)
Dahlan Iskan
Mantan CEO Jawa Pos
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mestinya Too Big to Fail
Redaktur : Tim Redaksi