Empat nelayan asal Indonesia dijatuhi hukuman denda hampir AU$20,000 atau senilai lebih dari Rp200 juta, setelah mengaku bersalah menangkap ikan komersial di wilayah perairan Australia.
Senin kemarin (28/11), Pengadilan Kota Darwin menjatuhkan vonis terhadap keempat nelayan karena terbukti melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Australia.
BACA JUGA: Korban Gempa Cianjur Masih Kesulitan Mengakses Air Bersih dan Sanitasi
Para terdakwa yang antara 19 dan 37 tahun ditangkap awal bulan ini oleh patroli kapal perang Angkatan Laut Australia HMAS Albany di perairan utara Australia Barat.
Mereka ditemukan pada posisi 5,2 mil laut (9,6 kilometer) di dalam titik terdekat zona penangkapan ikan Australia, menggunakan berukuran 10 meter dengan empat tali pancing, tiga kantong garam seberat 30 kilogram, dan tanpa hasil tangkapan.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Gunung Berapi Aktif Terbesar di Dunia Mulai Meletus
Aparat Australia kemudian mengarahkan para nelayan ini untuk meninggalkan zona tersebut.
Tapi berselang enam hari kemudian, mereka tertangkap kembali setelah ditemukan oleh pesawat pengintai maritim di dekat Pulau Sir Graham Moore di lepas pantai Kimberley.
BACA JUGA: Ancaman Terorisme di Australia Diturunkan Untuk Pertama Kalinya Setelah Hampir Satu Dekade
Petugas Penjaga Perbatasan langsung menggeledah perahu nelayan dan menemukan empat sirip hiu, 10 kilogram ikan kering, lima kilogram garam, peralatan memancing, kompas, dan ponsel dengan dua aplikasi navigasi.
Keempat pria tersebut telah mengaku bersalah atas dua dakwaan, yaitu menggunakan kapal asing untuk penangkapan ikan komersial di Australia dan menggunakan kapal asing di laut teritorial.Nelayan asal Pulau Rote
Dalam persidangan terungkap bahwa para nelayan ini berasal dari Pulau Rote di Indonesia.
Disebutkan juga dua nelayan yang berusia 32 dan 37 tahun merupakan satu-satunya pencari nafkah untuk keluarga masing-masing dan berasal dari "keluarga tidak berada".
Namun, pengacara mereka mengakui bahwa tindakan kliennya ini merupakan pelanggaran hukum Australia yang "terang-terangan" dan "tidak jera".
Jaksa Penuntut Umum Naomi Low dalam persidangan menyebut kejahatan itu berpotensi berdampak pada stok ikan Australia dan kerusakan lingkungan.
Jaksa Naomi mengatakan sirip ikan hiu seringkali diambil dari hiu saat masih hidup, meskipun tidak ada bukti dalam kasus ini.
Ia menambahkan bahwa jenis kejahatan seperti ini lebih sering terjadi sejak awal pandemi, kemungkinan besar karena faktor dampak kesulitan keuangan akibat COVID-19 di Indonesia.
Dalam vonisnya, Hakim John Neill mempertimbangkan hal meringankan yaitu para terdakwa belum pernah melakukan pelanggaran di Australia dan karakter baik mereka, tapi menyebut pelanggaran ini sengaja dilakukan para terdakwa.
"Mereka berada di perairan teritorial Australia. Mereka tahu dengan hal ini," katanya.
"Saya menerima bahwa mereka adalah ini para nelayan miskin, inilah satu-satunya cara mereka mencari nafkah. Saya mempertimbangkan hal itu," ujar Hakim John.
"Terlepas dari keadaan keluarga miskin di negara tetangga, mereka tidak berhak datang ke Australia dan mengganggu pengelolaan penangkapan ikan di sini," tegasnya.
Ia menjatuhkan denda masing-masing sebesar 6 ribu dolar untuk dua nelayan tertua, denda 4.500 dolar untuk nelayan berusia 27, dan denda 3 ribu dolar untuk yang berusia termuda.
Para terdakwa diberi waktu 28 hari untuk membayar dan jika tidak sanggup mereka berisiko dipenjara hingga 38 hari.
Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari laporan ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Petani Bunga Australia Tanam Opium, Mengaku Begini saat Digerebek Aparat