5 Tahun Rp19,6 M, Bea Kampanye Rp100 M

Selasa, 18 Desember 2012 – 07:32 WIB
JAKARTA -  Besarnya penghasilan Gubernur Sumatera Utara yakni Rp 327 juta per bulan dan wakil gubernur Rp 321 juta per bulan, ternyata masih tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk kampanye pencalonan gubernur dan wagub Sumut.

Hitung-hitungan kasar, dengan penghasilan per bulan Rp327 juta berdasar rilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) di Jakarta, Minggu (16/12), berarti dalam setahun gubernur Sumut mengantongi Rp3,924 miliar. Dalam lima tahun berkuasa, pundi-pundi yang berasal dari gaji plus beragam tunjangan dan insentif pajak retribusi mencapai Rp19,62 miliar.

Sedang untuk wagub Sumut, dengan per bulan penghasilannya Rp321 juta, maka setahun Rp3,851 miliar. Sedang dalam lima tahun berkuasa, terkumpul Rp17,225 miliar.

Tapi ternyata, besarnya jumlah penghasilan selama lima tahun itu tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan saat kampanye pilgub. Politisi senior asal Sumut, Hasrul Azwar, menyebut angka perkiraan Rp50 miliar hingga Rp100 miliar, yang harus dikeluarkan pasangan cagub-cawagub Sumut untuk kampanye.

"Jadi, besarnya penghasilan itu masih jauh banget dengan biaya untuk maju. Saya hitung, minimal untuk maju di pilgub Sumut itu sekitar Rp50 miliar hingga Rp100 miliar. Jadi kalau tidak korupsi, ya tidak akan balik modal. Kalau dua putaran, biaya lebih besar lagi," ujar Hasrul Azwar dengan nada enteng kepada JPNN di Jakarta, kemarin (17/12).

Perkiraan Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (Waketum) PPP itu tidak mengada-ngada. Sumut merupakan provinsi besar dengan jumlah kabupaten/kota mencapai 33 daerah. Dia memperkirakan, untuk satu kabupaten/kota, ongkos yang dikeluarkan cagub-cawagub sekitar Rp1 miliar.

Dana Rp1 miliar itu sudah angka minimal untuk keperluan pelatihan para saksi dan honornya, ongkos transport timsesn dan jurkam, biaya iklan, pembuatan baliho dan percetakannya, dan lain-lain remeh temeh tapi dalam jumlah besar, seperti pamflet-pamflet.

"Jadi, pukul rata Rp1 miliar, untuk 33 kabupaten/kota maka sudah Rp33 miliar," ujar politisi yang sudah beberapa periode duduk sebagai anggota DPR itu.

Nah, untuk posko tim sukses pusat, yang ada di Medan, ongkosnya bisa lebih besar lagi. Untuk rekening telepon, transport Jakarta-Medan, Medan ke sejumlah kabupaten/kota di Sumut, dan belanja semua kebutuhan di posko, Hasrul memperkirakan butuh Rp17 miliar. Dengan demikian, sudah Rp50 miliar.

Biaya akan membengkak lagi ketika pelaksanaan kampanye. Saat jadwal kampanye sudah diatur, maka mobilitas cagub-cawagub dan timsesnya termasuk para jurkam, harus cepat, tidak boleh terlambat. Untuk tiba ke wilayah kepulauan Nias misalnya, maka butuh carter pesawat atau kapal cepat. "Itu memerlukan dana besar," ujarnya lagi.

Ditekankan lagi, biaya Rp1 miliar per kabupaten/kota merupakan dana cekak. Idealnya, menurut dia, Rp2 miliar per kabupaten/kota. "Kalau saya hitung Rp2 miliar, maka untuk 33 daerah, sudah Rp66 miliar. Ya pokoknya perkiraaan saya, total sekitar Rp100 miliar," imbuhnya meyakinkan.

Hasrul tidak menyebut komponen pengeluaran calon untuk lobi-lobi petinggi partai dan untuk beli tiket partai pengusung, yang disinyalir jumlahnya juga cukup besar. Terutama bila calon bukan kader partai tapi maju lewat jalur usungan partai.

Lantas darimana para cagub-cawagub memperoleh dana sebesar itu" Hasrul menyebut sejumlah komponen. Antara lain, dana bantuan dari partai, sumbangan para anggota DPR dari partai penyokong, dan terbesar dari sponsor.

Siapa sponsor itu" Dengan lugas Hasrul menyebut pengusaha, birokrat, serta kalangan BUMN dan BUMD. "Tapi yang dari birokrat dan BUMN dan BUMD itu sifatnya terselubung," ucapnya.

Nah, para birokrat yang masih menduduki jabatannya saat ini, kata Hasrul, bisa menggelontorkan dana bantuan ke lebih dari satu pasangan cagub-cawagub. Pasangan yang berdasar kalkukasi punya kans kuat, maka akan diberi sumbangan.

"Birokrat ini gambling, untung-untungan. Memberi sumbangan ke sejumlah calon, agar siapa pun yang menang nanti, dia tetap dipakai (diberi jabatan empuk, red)," ujar Hasrul.

Kembali ke soal penghasilan gubernur Sumut dan wakilnya. Hasrul mengaku, baru tahu jika penghasilan gubsu Rp327 juta per bulan, wakilnya Rp312 juta per bulan. Angka ini diakui Hasrul, memang jauh lebih besar dibanding penghasilan sebagai anggota DPR.

Berdasar Surat Edaran Setjen DPR RI No KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, anggota DPR biasa bisa membawa pulang  Rp 51.567.200 setiap bulan. Anggota merangkap wakil ketua alat kelengkapan DPR 53.647.200, sementara yang merangkap ketua alat kelengkapan DPR bisa membawa pulang Rp 54.907.200. Jumlah itu berasal dari gaji plus beragam tunjangan. Untuk gaji pokok anggota DPR Rp4,2 juta.

"Ya, memang segitu," jawab Hasrul saat disebut jumlah penghasilan anggota DPR sebesar itu.

Apakah selisih gaji yang lumayan besar itu yang mendorong anggota DPR memilih ikut maju di pilgub Sumut karena penghasilan gubernur Sumut jauh lebih besar?

Hasrul menjawab tidak. "Kami tidak berorientasi pada penghasilan gubernur Sumut atau wakil gubernur Sumut saat mencalonkan kader kami. Tapi semata dilandasi untuk pengabdian kepada bangsa dan masyarakat Sumut," ujar Hasrul. Kalau hitung-hitungan duit, dia mengatakan, toh ongkos untuk maju jauh lebih besar dibanding penghasilan.

Seperti diketahui, anggota DPR yang iku maju di pilgub Sumut adalah Chairuman Harahap dan Effendi Simbolon. Sutan Bathoegana juga sempat ngebet, tapi terpental di internal Partai Demokrat. (sam/jpnn)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Anas Yakin Amri-RE Menang

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler