jpnn.com, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras tindakan polisi yang mengakibatkan kematian enam Laskar FPI (Front Pembela Islam) pengawal Habib Rizieq Shihab.
KontraS menilai peristiwa ini merupakan bentuk pelanggaran prinsip fair trial atau peradilan yang jujur dan adil.
BACA JUGA: Pernyataan Terbaru Kombes Yusri terkait Kasus 6 Laskar FPI Tertembak
Pasalnya, berdasarkan keterangan yang dihimpun KontraS, pihak kepolisian mengakui sedang melakukan pembuntutan yang berkaitan dengan proses penyelidikan.
Di satu sisi, pihak FPI menyatakan bahwa keluarga Rizieq Shihab sedang melakukan perjalanan untuk pengajian rutin keluarga.
BACA JUGA: Polisi atau FPI yang Benar? Ini Kata Pengajar di Al Azhar
Di tengah perjalanan, dari kedua belah pihak menyampaikan keterangan yang berbeda atas tewasnya enam laskar FPI tersebut.
Kendati demikian, penembakan yang dilakukan terhadap enam laskar FPI tidak dapat dibenarkan.
"Atas peristiwa kematian enam orang tersebut, kami mengindikasikan adanya praktik extrajudicial killing atau unlawful killing dalam peristiwa tersebut. Penggunaan senjata api juga semestinya memerhatikan prinsip nesesitas, legalitas, dan proporsionalitas," tulis KontraS dalam keterangan resmi yang disiarkan kontras.org, Selasa (8/12) ini.
Menurut KontraS, penggunaan senjata api (senpi) bukan untuk mematikan seseorang, melainkan sekadar melumpuhkan.
Hal itu seperti tertuang dalam UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Official.
"Penggunaan senjata api hanya diperbolehkan untuk tujuan melumpuhkan bukan membunuh," lanjut KontraS.
KontraS pun mendesak Kapolri Jenderal Idham Azis untuk melakukan proses hukum secara terbuka dan adil terhadap anggota Korps Bhayangkara yang terbukti melakukan penembakan terhadap para korban.
"Kapolri juga harus memastikan bahwa tidak ada upaya tekanan dan ancaman baik secara fisik maupun psikis terhadap korban yang bertujuan untuk menghentikan proses hukum dan akuntabilitas internal Polri," demikian pernyataan KontraS.
Selanjutnya, KontraS mendesak divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri melakukan pemeriksaan dan audit senjata api serta amunisi secara berkala yang digunakan oleh anggota kepolisian yang terlibat dalam proses pembuntutan tersebut.
Selain itu, KontraS mendesak Ombudsman RI untuk melakukan investigasi terkait dengan dugaan maladministrasi dalam proses penyelidikan yang menyebabkan tewasnya enam laskar FPI tersebut.
"Komnas HAM dan Kompolnas secara independen harus melakukan pemantauan langsung dan mendalam terhadap peristiwa penembakan ini. Komnas HAM dan Kompolnas juga harus memastikan bahwa rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan nantinya akan memiliki tekanan pada proses hukum yang berjalan serta memenuhi hak-hak dari korban penembakan," desak KontraS.
Catatan KontraS, selama tiga bulan terakhir terdapat 29 peristiwa extrajudicial killing atau pembunuhan di luar proses hukum yang mengakibatkan 34 orang tewas.
Penggunaan senjata api yang mengakibatkan tewasnya seseorang, kami menemukan sejumlah pola, seperti korban diduga melawan aparat dan korban hendak kabur dari kejaran polisi.
Seringkali, ujar KontraS, alasan tersebut digunakan tanpa mengusut sebuah peristiwa secara transparan dan akuntabel.
Besarnya jumlah korban tewas dalam operasi Polri di atas, menunjukkan masih banyak anggota Korps Bhayangkara yang tidak menerapkan prinsip nesesitas dan proporsionalitas sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 3 Perkap No. 1 Tahun 2009 maupun Pasal 48 Perkap No. 8 Tahun 2009.
"Lebih jauh, kesewenang-wenangan penggunaan senjata oleh anggota Polri telah mengabaikan hak masyarakat atas persamaan di hadapan hukum sebagaimana Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999," beber KontraS. (ast/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan