jpnn.com, JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti kebijakan belajar di rumah yang diterapkan pemerintah guna mencegah meluasnya penyebaran virus corona Covid-19.
Selama pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), ada beragam cara yang dilakukan guru. Yaitu pembelajaran daring, link aplikasi belajar daring dan memberikan penugasan-penugasan kepada siswa.
BACA JUGA: Pengumuman Karantina Mendadak, Rakyat Panik, Mendagri Mengundurkan Diri
"Terkait dengan ratusan pengaduan yang diterima, KPAI melakukan analisis dan kemudian menindaklanjuti ke instansi terkait, di antaranya Kemendikbud dan Dinas-dinas Pendidikan setempat. Bahkan ada juga yang langsung mengontak jepala sekolah karena pengadu memberikan nomor seluler kepala sekolahnya," kata Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam keterangannya, Senin (13/4).
Dia menyebutkan, sejak Senin (16/3) sampai Kamis (9/4) Komisi KPAI terus mendapatkan pengaduan dari para siswa di berbagai daerah di Indonesia terkait berbagai penugasan sekolah yang mereka harus kerjakan di rumah.
BACA JUGA: Kabar Buruk, Khawatir Tiongkok Kembali ke Kondisi Hampir Lumpuh
Setelah penerapan kebijakan belajar dari rumah berlangsung 3 minggu, KPAI sudah menerima pengaduan terkait PJJ sebanyak 213 kasus.
Di mana pengaduan didominasi oleh para siswa sendiri terkait berbagai penugasan guru yang dinilai berat dan menguras energi serta kuota internet.
BACA JUGA: Nasib 51 Ribu PPPK dari Honorer K2 Merana, Prof Zainuddin Sentil Sri Mulyani
Dari 213 pengaduan tentang PJJ tersebut, setelah dianalisis oleh tim pengaduan KPAI, diperoleh fakta-fakta sebagai berikut :
1. Penugasan yang maha berat dan waktu pengerjaan yang pendek;
Pengaduan terkait penugasan adalah pengaduan yang tertinggi, hampir 70% pengadu menyampaikan betapa beratnya penugasan-penugasan yang diberikan setiap harinya oleh para guru, dan waktu yang diberikan untuk mengerjakan juga sangat pendek.
Siswa SMA/SMK banyak yang ditugaskan menulis esai hampir di semua bidang studi. Ada siswa SMP yang pada hari kedua PJJ sudah mengerjakan 250 soal dari gurunya.
Ada siswa SD di Bekasi yang diminta mengarang lagu tentang corona. Dinyanyikan disertai music dan harus divideokan.
2. Banyak tugas merangkum bab dan menyalin soal di buku
Retno mengatakan, tugas yang paling tidak disukai anak-anak merangkum bab materi dan menyalin soal di buku cetak. Ada guru di jenjang SMP dan SMAselalu yang memberikan tugas merangkum bab baru setiap jam pelajarannya tiba.
Ada siswa SD yang mendapat tugas menyalin 83 halaman buku cetak sebagai bentuk penugasan dari gurunya. Selain itu, siswa SD kelas 4 ditugaskan untuk menuliskan bacaan salat, mulai dari bahasa Indonesianya, bahasa latinnya dan bahasa Arabnya, padahal semuanya ada di buku cetak.
Banyak siswa yang mengaku mendapat tugas menjawab soal, tetapi harus dituliskan soalnya padahal ada di buku cetak mereka.
3. Jam belajar kaku seperti jam sekolah normal.
Proses pembelajaran di sekolah seharusnya tidak disamakan dengan jam belajar di sekolah. Tidak kaku menerapkan jam pertama sampai trerakhir.
Padahal mayoritas ganti jam, ganti mata pelajaran, berarti dapat tambahan tugas baru yang tak kalah berat Padahal tugas sebelumnya belum selesai dikerjakan para siswa.
4. Tidak memiliki kuota dalam pembelajaran daring terutama untuk pengadu yang kepala keluarganya merupakan pekerja upah harian.
Pembelajaran daring ternyata juga dikeluhkan oleh anak-anak dari keluarga kurang mampu. Ada sopir ojek online (ojol) yang memiliki 3 anak (2 di jenjang SD dan 1 di jenjang SMA) kewalahan dalam membeli kuota internet. Sedangkan penghasilan sebagai ojol menurun drastis.
Seorang guru di Yogjakarta juga menceritakan pembelajaran daring dengan para siswa hanya bisa dilakukan pada minggu pertama belajar di rumah.
Setelah itu sudah tidak bisa lagi karena orang tua peserta didiknya tidak sanggup lagi memberli kuota internet.
5. Tidak memiliki laptop/komputer PC sehingga kesulitan ujian daring yang akan dilaksanakan akhir April-Mei 2020 oleh sebagian siswa dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi;
"Ada anak supir ojol yang mengaku gantian menggunakan handphone dengan ayahnya. Kalau siang dipakai bekerja, jadi malamnya baru bisa digunakan si anak untuk mengerjakan tugas dari gurunya," ungkap Retno.
Masalah sinyal juga menjadi kendala di beberapa daerah yang berbukit-bukit, akibatnya ada siswa yang setiap hari harus berjalan 10 KM untuk mendapatkan signal dan wifi.
6. Masih adanya aktivitas siswa dan guru di sekolah, padahal seharusnya belajar dari rumah.
Pada awal penerapan kebijakan belajar dari rumah, KPAI menerima 3 pengaduan (DKI Jakarta, Kota Bekasi dan Palangkaraya) yang menyatakan bahwa sekolah anaknya belum libur, padahal pemerintah daerahnya memutuskan meliburkan sekolah.
Ketiganya sekolah swasta di jenjang SD. Pada minggu kedua KPAI menerima pengaduan ada SD swasta di Kabupaten Bogor meliburkan sekolah tetapi tetap melayani les/privat di sekolah.
7. Penolakan membayar biaya SPP bulanan secara penuh karena siswa belajar dari rumah bersama orang tua.
Retno mengungkapkan, menjelang minggu ke-4 kebijakan belajar dari rumah, ada beberapa pengaduan siswa sekolah swasta yang menyatakan keberatan membayar uang iuran sekolah/SPP secara penuh.
Sebab, tidak ada aktivitas pembelajaran di sekolah dan banyak orang tua mengalami masalah ekonomi pascaperpanjangan masa belajar dan bekerja dari rumah.
Bahkan, orang tua siswa yang pengusaha pun turut terpukul secara ekonomi sehingga memiliki masalah finansial. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad