JAKARTA--Selain soal harga, pasokan kedelai masih menjadi hal yang dikhawatirkan para pembuat tahu dan tempe. Produksi nasional hanya cukup memenuhi 30 persen dari kebutuhan. Kedelai impor pun menjadi tumpuan pembuat tahu tempe.
Rabu (20/2) Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengunjungi salah satu sentra perajin kedelai di Semanan, Jakarta Barat. Di acara kunjungan tersebut, Gita bertemu dengan 250 pembuat tempe yang mewakili 900 perajin binaan Perkampungan Industri Kecil Kopti Semanan. Dalam pertemuan itu, banyak perajin yang mengeluhkan pasokan dan harga kedelai.
Hartono, salah seorang perajin, mengungkapkan bahwa hampir semua kebutuhan bahan baku kedelai diperoleh dari impor. Dia kurang setuju jika pemerintah berencana mengurangi impor kedelai. Dia juga menilai bahwa data yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) tidak sesuai dengan yang ada di lapangan.
"BPS mengatakan, produksi kedelai nasional 850 ribu ton. Tapi, menurut saya, hanya sekitar 50 ribu ton. Jika impor dikurangi, mau pakai bahan baku apa kami?" terangnya di acara kunjungan kerja menteri itu. Dia mengimbau kepada pemerintah untuk mempersiapkan produksi kedelai lokal dahulu, lalu memutuskan menekan impor kedelai.
Menanggapi hal itu, Gita mengatakan, pada dasarnya Kementerian Perdagangan bukan anti-impor. Pihaknya akan selalu memonitor harga di lapangan. Jika memang pasokan minim dan mengakibatkan harga tinggi, pihaknya akan melakukan kebijakan impor kedelai. "Pada dasarnya, kami ingin petani dan perajin sama-sama untung dan konsumen bisa membeli tahu dan tempe dengan harga terjangkau," ujarnya.
Salah satu solusinya, lanjut dia, adalah program stabilisasi harga kedelai atau penetapan harga pembelian pemerintah (HPP). Menurut Gita, jika ketetapan tersebut sudah tercapai, kepastian harga di tingkat petani dan perajin bakal terjamin. Dengan demikian, hal itu akan meningkatkan gairah petani menanam kedelai. Saat ditanya kapan beleid HPP kedelai dikeluarkan, Gita hanya bisa menjawab secepatnya. Padahal, sebelumnya dia menjanjikan akhir Januari lalu undang-undang tersebut bisa diumumkan.
Sebagai catatan, tahun ini kebutuhan kedelai nasional diprediksi 2,5 juta ton, sedangkan produksi nasional berkisar 700 ton. Dengan demikian, Indonesia masih harus mengimpor 1,8 juta ton atau 70 persen dari kebutuhan. (uma/c6/dos)
Rabu (20/2) Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengunjungi salah satu sentra perajin kedelai di Semanan, Jakarta Barat. Di acara kunjungan tersebut, Gita bertemu dengan 250 pembuat tempe yang mewakili 900 perajin binaan Perkampungan Industri Kecil Kopti Semanan. Dalam pertemuan itu, banyak perajin yang mengeluhkan pasokan dan harga kedelai.
Hartono, salah seorang perajin, mengungkapkan bahwa hampir semua kebutuhan bahan baku kedelai diperoleh dari impor. Dia kurang setuju jika pemerintah berencana mengurangi impor kedelai. Dia juga menilai bahwa data yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) tidak sesuai dengan yang ada di lapangan.
"BPS mengatakan, produksi kedelai nasional 850 ribu ton. Tapi, menurut saya, hanya sekitar 50 ribu ton. Jika impor dikurangi, mau pakai bahan baku apa kami?" terangnya di acara kunjungan kerja menteri itu. Dia mengimbau kepada pemerintah untuk mempersiapkan produksi kedelai lokal dahulu, lalu memutuskan menekan impor kedelai.
Menanggapi hal itu, Gita mengatakan, pada dasarnya Kementerian Perdagangan bukan anti-impor. Pihaknya akan selalu memonitor harga di lapangan. Jika memang pasokan minim dan mengakibatkan harga tinggi, pihaknya akan melakukan kebijakan impor kedelai. "Pada dasarnya, kami ingin petani dan perajin sama-sama untung dan konsumen bisa membeli tahu dan tempe dengan harga terjangkau," ujarnya.
Salah satu solusinya, lanjut dia, adalah program stabilisasi harga kedelai atau penetapan harga pembelian pemerintah (HPP). Menurut Gita, jika ketetapan tersebut sudah tercapai, kepastian harga di tingkat petani dan perajin bakal terjamin. Dengan demikian, hal itu akan meningkatkan gairah petani menanam kedelai. Saat ditanya kapan beleid HPP kedelai dikeluarkan, Gita hanya bisa menjawab secepatnya. Padahal, sebelumnya dia menjanjikan akhir Januari lalu undang-undang tersebut bisa diumumkan.
Sebagai catatan, tahun ini kebutuhan kedelai nasional diprediksi 2,5 juta ton, sedangkan produksi nasional berkisar 700 ton. Dengan demikian, Indonesia masih harus mengimpor 1,8 juta ton atau 70 persen dari kebutuhan. (uma/c6/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Harga Beras Harus Disesuaikan Daya Beli Rakyat Miskin
Redaktur : Tim Redaksi