72 Tahun Indonesia Merdeka: Keberhasilan dan Tantangan Pembangunan di Tanah Papua

Rabu, 16 Agustus 2017 – 20:50 WIB
Direktur Papua Circle Institute, Hironimus Hilapok. Foto. Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Oleh HIRONIMUS HILAPOK

Penulis adalah Direktur Papua Circle Institute

BACA JUGA: Jebret! Kelompok Napi Hadapi TNI dan Polri

Tulisan ini merupakan refleksi 72 tahun Indonesia Merdeka. Khususnya memotret bagaimana keberhasilan pembangunan di Tanah Papua dan tantangan yang dihadapi wilayah paling timur Indonesia itu di masa mendatang.

Tak terasa pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sudah dipenghujung tahun ketiga. Pada tahun ketiga ini pembangunan difokuskan pada pemerataan ekonomi yang berkeadilan.
Dalam pidato kenegaraan yang dilaksanakan di Gedung Nusantara, kompleks DPR/MPR/DPD RI tersebut banyak hal yang diangkat oleh presiden. Mulai dari keberhasilan pembangunan dan hambatan-hambatan. Presiden juga memberikan motivasi kepada kementerian lembaga dan seluruh masyarakat untuk terus menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.

BACA JUGA: Indonesia Pusaka Membekas di Hati Raisa

Yang cukup unik dari pidato tersebut karena presiden sebagai orang Jawa Tengah menggunakan pakaian adat dari Sulawesi Selatan. Sedangkan Wakil Presiden yang berasal dari Sulawesi Selatan justru menggunakan pakaian adat Jawa Tengah.

Dengan simbol tersebut, pesan yang ingin disampaikan pemerintahan Jokowi-JK bahwa kita Indonesia adalah negara besar yang berbeda-beda tetapi perbedaan itu bukan untuk saling membeda-bedakan antara satu suku, agama, ras dan kepentingan yang satu dengan yang lainnya.

BACA JUGA: Penting, Ini Rekayasa Lalu Lintas di Seputar Istana Besok

Keberhasilan Pembangunan

Presiden menyampaikan bahwa kita bangsa yang besar, karena kita sudah teruji kebesaran kita dari masa ke masa. Pada awal perjuangan kemerdekaan sampai dengan saat ini, Kesatuan dan Persatuan harus kita jaga.

Ujian sejarah berikut adalah memenuhi janji-janji kemerdekaan yaitu untuk mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Keyakinan presiden sangat kuat bahwa janji-janji kemerdekaan itu bisa kita capai dengan syarat apabila kita semua mau bersatu, mau bekerja sama dan mau kerja bersama.

Patut kami memberi apresiasi kepada Pemerintah karena didalam berbagai macam persoalan yang dihadapi, ada beberapa capaian yang bisa diraih. Diantaranya tingkat kemiskinan yang menurun dari 28,59 juta orang pada Maret 2015 menjadi 27,77 juta orang pada Maret 2017, Indeks rasio gini (mengukur tingkat kesenjangan ekonomi) yang terus membaik dengan mencapai 0,393 di Bulan Maret 2017 dibandingkan dengan angka bulan september 2014 yaitu 0,414, indeks pembangunan Manusia yang terus bergerak naik dari negara kategori Medium High development menjadi negara dalam kategori high Human Development.

Dalam peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EODB) posisi Indonesia meningkat dari 106 pada tahun 2016 menjadi 91 pada tahun 2017 serta pemerintah membangun tumbuhnya sentra-sentra ekonomi baru dan kawasan industri baru di luar Jawa seperti Kawasan Industri Sei Mangkei di Sumatera Utara dan Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah.

Untuk Tanah Papua sendiri kita bisa lihat pembangunan infrastruktur yang terus digalakkan, program menerangi Papua dengan dibangun 54 unit pembangkit listrik untuk mencapai target pemerintah tahun 2019 mencapai 514 megawatt. Program BBM satu harga dengan harga di Pulau Jawa. Di Provinsi Papua 26 Kabupaten dan Provinsi Papua Barat 7 kabupaten saat ini sudah bisa menikmati BBM satu harga yaitu solar berkisar antara Rp 6.500 sampai Rp 11.000 dan bensin antara Rp 8.000 sampai Rp 15.000. Hal ini berbeda dengan harga sebelum kebijakan ini dibuat sebesar Rp 60.000 sampai Rp 00.000. Rencana pembangunan kereta trans Papua yang total lintasan rel mencapai 1.550 KM. Selain itu tol laut dan tol udara yang terus digenjot agar dapat menekan disparitas harga di pesisir dan pegunungan.

Tantangan Pembangunan Tanah Papua Saat Ini

Penekanan penting yang disampaikan Presiden dalam pidato tersebut adalah “kita harus ingat bahwa membangun Indonesia adalah membangun Manusia Indonesia”. Sedangkan dibagian lain presiden juga menyampaikan bahwa “Pembangunan yang merata akan mempersatukan Indonesia”.

Kedua kalimat ini mengandung makna yang tidak sejalan namun menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara pembangunan yang merata dan membangun manusia karena pembangunan yang merata tidak terlepas dari pembangunan manusia itu sendiri.

Melihat jauh kebelakang bahwa alasan mengapa kebijakan otonomi khusus diberikan oleh pemerintah pada orang Papua adalah karena pembangunan yang tidak merata atau adanya ketimpangan pembangunan antara Provinsi irian Jaya (saat itu) dengan provinsi lain di Indonesia dan juga tidak ada perhatian yang serius dari Pemerintah Pusat terhadap pembangunan manusia Papua saat itu.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa pembangunan yang saat ini kita lihat di Papua sudah terjadi cukup masif. Kesempatan untuk membangun manusia sebagian sudah dilimpahkan kepada pemerintah daerah melalui kebijakan otonomi khusus tersebut, walaupun masih ada kekurangan dibeberapa bidang seperti keberpihakan pembangunan terhadap orang Papua. Hal lain yang belum menjadi perhatian serius pemerintah adalah soal Hak Asasi Manusia (HAM) secara menyeluruh.

Menjaga Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah bukan hanya sekadar membangun manusia dan pembangunan secara merata, tetapi ada hal lain yang belum disentuh oleh pemerintah pusat. Tuntutan kemerdekaan Papua bukan hanya sekadar wacana, tuntutan Papua merdeka sudah menjadi perjuangan yang dilakukan berpuluh-puluh tahun dan selalu menghiasi pergerakan demokrasi baik di Tanah Papua, Indonesia bahkan sering terdengar di luar negeri.

Theo Van den Broek, OFM dalam bukunya “mengatasi keterpecahan yang melumpuhkan” mengatakan bahwa ada tiga unsur yang terkandung dalam tuntutan kemerdekaan Papua, unsur-unsur itu adalah pertama unsur politik; kedua unsur sosio-kultural dan yang ketiga unsur pembangunan (Ekonomi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lainnya).

Dari unsur politik digambarkan bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 dipandang sebagai kejadian yang melanggar hukum internasional, berdasarkan kesadaran ini maka muncullah tuntutan ‘pelurusan sejarah’.

Dari unsur sosio kultural digambarkan bahwa pengalaman kolektif rakyat Papua dilecehkan dan tidak dihargai sebagaimana layaknya manusia, hidup dalam ketakutan, diintimidasi, tidak memiliki kebebasan bersuara dan berkumpul serta martabatnya disangkal merupakan dasar dari tuntutan kebebasan dan kemerdekaan menjadi dorongan untuk menghentikan segala bentuk penindasan dan pelanggaran HAM.

Sedangkan unsur kebijakan pembangunan saat itu sangat sentralistik, dan dianggap tidak mampu mensejahterakan orang Papua. Kebijakan-kebijakan pemerintah tidak menjawab kebutuhan lokal dan umumnya hanya menguntungkan pihak-pihak luar sehingga penilaian ini dianggap sebagai sumber utama permasalahan di Papua.

Pemerintahan berganti pemerintah dianggap belum menyentuh unsur politik dan sosio-kultural, pemerintah selalu mendorong unsur pembangunan sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baik politik maupun unsur sosio-kultural. Menjadi pertanyaan kita bersama, sejauh mana kebijakan pembangunan bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lain sebagainya yang digalahkan pemerintah saat ini bisa menjawab tuntutan unsur politik dan unsur sosio-kultural di atas?

Membangun kepercayaan orang Papua tidak cukup hanya pembangunan bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lainnya tetapi yang paling penting adalah komitmen bersama menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagai sebuah konsensus politik antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua atas tuntutan keluar dari Negara kesatuan Republik Indonesia yang sangat kuat saat itu. Paling tidak pada saat itu, Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua menjadi satu-satunya solusi (jalan tengah) yang setidaknya mampu menjawab tuntutan-tuntutan dari unsur politik, sosio-kultural dan unsur pembangunan.

Kerja Bersama Membangun Rasa Saling Percaya

Pembangunan Tanah Papua dan tantangannya saat ini adalah bagaimana kemauan politik semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah dan unsur-unsur lainnya dapat bergandeng tangan menyatukan presepsi betapa pentingnya “KERJA BERSAMA” dalam membangun Tanah Papua secara utuh dan menyeluruh. Tidak saling curiga, membagun sinergisitas antara bidang pembangunan baik ditingkat pusat (kementerian dan lembaga) serta ditingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dengan jalan melaksanakan amanat undang-undang no 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua secara utuh.

Ekspektasi yang tinggi oleh rakyat Papua dengan memenangkan pasangan Jokowi-JK pada Pilpres tahun 2014 lalu harus tetap dijaga dengan melaksanakan kebijakan pembangunan yang berpihak pada orang asli Papua dan mengubah pendekatan aparat militer baik TNI maupun Polri lebih manusiawi sehingga dapat meminimalisasi terjadinya gesekan-gesekan atau konflik diantara warga masyarakat maupun warga masyarakat dan aparat militer. Karena rasa saling percaya antara semua pihaklah sumber dari penerimaan masyarakat terhadap sebuah pembangunan.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Aksi 171717, Bukti Kepedulian Panglima TNI


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler