jpnn.com, JAKARTA - Dokter spesialis kedokteran jiwa Anggia Hapsari berbagi tips untuk membantu anak dapat mengontrol emosi.
Konsultan psikiatri anak dan remaja dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini setidaknya memberi delapan tips sederhana.
BACA JUGA: Ingin Berhenti Merokok tetapi Tak juga Berhasil? Coba Ikuti Saran Spesialis ini
Agar tips efektif, Anggia Hapsari mengajak para orang tua belajar memahami perasaan anak yang mampu diekspresikannnya melalui berbagai cara, sesuai tingkat perkembangan anak.
Pada semua usia, kata dia, kuatnya emosi positif merupakan dasar untuk penyesuaian yang baik.
BACA JUGA: Langkah Penting agar Buah Hati Tumbuh jadi Anak Hebat, Gampang kok
"Bayi yang mengalami lebih banyak emosi senang meletakkan dasar-dasar untuk penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang baik, juga untuk pola-pola perilaku yang akan menimbulkan kebahagiaan," ujar Anggia, dikutip Rabu (9/6).
Setelah melewati masa bayi, yakni kira-kira usia 2-6 tahun, anak-anak pra-sekolah sudah dapat merasakan cinta dan mempunyai kemampuan untuk menjadi anak yang penuh kasih sayang.
BACA JUGA: Percayalah, 10 Hal ini Hanya Mitos, Nomor 2 Paling Aneh!
Mereka dapat merasakan anak lain yang sedang sedih, mulai merasa bersimpati dan ingin menolong.
Anak pra-sekolah baru dapat mengekspresikan satu emosi pada satu waktu, dan belum dapat memadukan emosi atau perasaan dari hal-hal yang membingungkan.
Saat anak usia sekolah (6-12 tahun), kemampuan kognitif mereka mulai berkembang, sehingga kemampuan untuk dapat mengekspresikan emosinya lebih bervariasi.
Terkadang dapat mengekspresikan secara bersamaan dua bentuk emosi yang berbeda, bahkan bertolak belakang.
Pada tahap ini, anak mulai mengetahui kapan harus mengontrol ekspresi emosi sebagaimana juga mereka menguasai keterampilan regulasi perilaku, yang memungkinkan mereka menyembunyikan emosinya dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial.
Ketika anak berusia 12 tahun ke atas, mereka sudah mampu menganalisis dan mengevaluasi cara merasakan atau memikirkan sesuatu.
Begitu juga terhadap orang lain, anak yang hampir memasuki masa remaja ini, sudah dapat merasakan bentuk empati yang lebih dalam.
"Perbedaan dalam perkembangan emosi membutuhkan perhatian khusus agar anak memiliki kemampuan meregulasi emosi mereka dengan tepat," kata Anggia yang berpraktik di RS Pondok Indah – Bintaro Jaya.
Melatih Anak Mengontrol Emosi
Menurut Anggia, memiliki anak dengan kecerdasan emosional memang memerlukan tahapan dan waktu yang tidak sebentar.
Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah dengan melatih anak meregulasi emosinya.
Setidaknya ada delapan langkah yang bisa orang tua lakukan untuk membantu anak memiliki regulasi emosi.
Yakni, mengenali emosi/perasaan diri (name the feeling), mengenali emosi/perasaan orang lain, orang tua hadir dan mendengarkan perasaan anak.
Kemudian, menanggapi dengan tepat apa yang menjadi kebutuhan anak, tidak bereaksi negatif saat anak rewel atau marah.
Langakah lain, jadilah role model, senang bermain dengan anak dan tertarik dengan aktivitas anak, serta mengajarkan anak teknik-teknik relaksasi (emotional toolbox).
Namun demikian, terkadang anak-anak dapat mengalami emosi yang negatif, yang terkadang menjadi ledakan emosi.
Anggia mengatakan hal ini wajar. Namun, ledakan emosi pada anak harus diwaspadai.
Misalnya tantrum dan ledakan (outbursts) terjadi pada tahapan usia perkembangan di mana seharusnya sudah tidak terjadi, yaitu di atas usia 7-8 tahun.
Lalu, perilaku anak sudah membahayakan dirinya atau orang lain, menimbulkan masalah serius di sekolah, memengaruhi kemampuannya bersosialisasi dengan teman sehingga anak dikucilkan oleh teman-temannya.
Selain itu, anak tantrum dan membuatnya kesulitan dalam keseharian keluarga dan merasa tidak mampu mengendalikan emosi marahnya dan merasa dirinya buruk juga perlu diwaspadai.
Menurut Anggia, ada beberapa faktor penyebab masalah emosi yang terjadi pada anak.
Antara lain, ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), kecemasan/anxiety, trauma, kesulitan belajar dan gangguan pemrosesan sensori (sensory processing issues).
Kemudian, spektrum autisme, sedikit mendapat kasih sayang dari keluarga maupun teman atau terlalu terikat dengan satu figur yang dominan.
Menurut Anggia, kepercayaan terhadap orang tua dan model figur yang mereka amati dalam keluarga, berperan dalam membentuk kepercayaan diri anak.
Hal ini dapat membantu anak untuk meregulasi emosinya dan mendorongnya menjadi mandiri, serta berani mengambil risiko.(Antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang