jpnn.com - Tidak ada yang menyangka dua penjual koran Jawa Pos Radar Kudus, Abdul Nasir dan Ahmad Shodiq bakal naik haji. Berawal dari janji dan impian, keduanya akan menuju Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima pada bulan ini.
KHOLID HAZMI, Rembang dan SRI PUTJIWATI, Pati
BACA JUGA: Untuk Calon Jemaah Haji, Bacalah Imbauan Penting Ini
PENAMPILAN Abdul Nasir sederhana. Kemeja dan celana pendek selutut. Itulah pakaian yang biasa dikenakan ketika bekerja berjualan Jawa Pos Radar Kudus di Lasem, Rembang.
Celana serupa itu juga dikenakan ketika Direktur Jawa Pos Radar Kudus Baehaqi berkunjung ke rumahnya di Desa Desa Ruwit, Kecamatan Wedung, Demak. Ya, Abdul Nasir ini bukan asli Lasem.
BACA JUGA: Kisah Pilu Sonia, Suaminya Sudah 4 Bulan Hilang di Mekah
Tetapi, dia sudah 30 tahun berjualan koran di Lasem. Dia pun akrab dengan wilayah tersebut dan masyarakat setempat.
Berkat jualan koran itu, dia telah menunaikan ibadah haji. Dia juga telah sekali memberangkatkan ibu dan istrinya ke Tanah Suci. Nasir kembali menunaikan ibadah haji bersama istrinya pada 18 Agustus 2017 mendatang.
BACA JUGA: InsyaAllah Penerbangan Haji Akan Berjalan dengan Baik
Nasir mengaku, bisa kenal Lasem karena mondok. Sejak 1977 dia tinggal di Pondok Pesantren (Ponpes) An-Nur Lasem. Nasir yang berasal dari keluarga kurang mampu tidak pernah dikirim bekal atau uang saku dari orang tuanya.
Untuk menyambung hidup, selama di ponpes, Nasir mengabdikan diri menjadi santri ndalem. Hal yang paling diingat, dia dipasrahi menimba air dari sumur.
Di sela-sela mondok, pria berusia 56 tahun ini menempuh pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru Agama Islam Negeri yang kini menjadi MAN Lasem. Begitu lulus sekolah sekitar 1985, Nasir berkeinginan menjadi guru.
Dia mengurus surat kuning ke Semarang sebagai salah satu persyaratan mengikuti seleksi. Hanya saja ketika tes, Nasir tak lolos. Meskipun ada seleksi lagi di tahun berikutnya, dia tidak berniat mengikuti lagi.
Nasir memilih berjualan koran di Terminal Lasem mulai 1987. Awal berjualan, pria bertubuh gempal ini hanya berjualan Jawa Pos. Tak lama kemudian, ada agen dari Blora menemuinya dan memberi tabloid mingguan agar dijual oleh Nasir.
Prospek tabloid mingguan saat itu baik. Sebab, pembacanya kebanyakan kaum Tionghoa. Sehingga, setiap usai salat Jumat Nasir pergi ke Semarang naik bus untuk mengambil tabloid. Pulangnya, dia nebeng truk dari Semarang sampai Lasem.
Dua tahun berjualan koran, Nasir menjadi loper. Hasil penjualan koran dan tabloid dibelikan sepeda untuk menjadi modal menjadi loper.
Area kelilingnya tidak jauh, hanya di wilayah Lasem. Selama berjualan koran sejak 1987 itu, Nasir masih berdomisili di Ponpes An-Nur.
Pria kelahiran Demak, 14 Juli 1961 ini tak pernah menghitung berapa penghasilan dari berjualan koran. Hal itu sesuai anjuran dari sang kiai di pondok.
”Kalau kamu bicara sehari dapat Rp 100 ribu, kalau ditakdirkan sehari dapat Rp 200 ribu kan rugi. Sudah terlanjur bilang Rp 100 ribu,” ungkapnya.
Meskipun sudah tak sekolah, Nasir tetap mengabdikan diri sebagai santri ndalem. Hingga suatu ketika, KH Abdul Qoyyum, pengasuh Ponpes An-Nur berangkat haji pada 1990.
Ketika ada tamu sebelum dan sesudah pergi haji, Nasir yang diminta menemui para tamu. ”Wis lah kowe wae sing nemuni ben ndang keturutan,” ungkapnya menirukan ucapan KH Abdul Qoyyum.
Sepulang Gus Qoyyum dari Tanah Suci, Nasir diminta segera menyiapkan diri berangkat haji. Benar saja, setahun kemudian atau 1991 Nasir berangkat haji dengan biaya sendiri hasil dari jualan koran.
Dia masih ingat betul biaya haji saat itu sekitar Rp 6 juta. Nasir kali pertama berangkat haji dalam usia 31 tahun dan belum menikah. Berangkat ke Tanah Suci, dia tak membawa uang saku sepeserpun.
Uangnya telah digunakan membayar biaya haji. Sesaat sebelum berangkat ke Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Nasir diberi uang oleh seseorang ketika di Alun-alun Demak. Hanya saja, dia tak ingat siapa orang itu dan berapa uang yang diberikannya.
Ketika berangkat dari rumah, Nasir membawa bekal nasi bungkus sendiri. Bahkan ketika bus yang dinaikinya berhenti di sebuah rumah makan di Cirebon, dia tak ikut masuk. Memakai uang pemberian tersebut, Nasir memilih makan wedang ronde di pinggir jalan.
Barulah ketika sampai di asrama haji, dia mendapatkan jatah makan. Uang saku dalam bentuk Real diberikan. Uang itu diambil dari biaya haji yang telah dibayarkannya. Selama di Tanah Suci, dia memilih masak sendiri berbekal beras yang dibawanya.
Lauknya berupa telur dadar bikinan sendiri. Telurnya dibeli di Tanah Suci. Menurutnya, menu makan nasi dan telur dadar dianggap istimewa. Sebab, semasa di pondok dia lebih sering makan dengan nasi dan sambal terong.
Usai pulang dari Tanah Suci, kedua orang tuanya meminta Nasir segera menikah. Atas saran Gus Qoyyum, dia diminta mencari jodoh yang hafal Alquran. Agar ketika ditinggal bekerja, sang istri tak melamun dan mengisi waktunya dengan nderes Alquran.
Namun, dua kali lamarannya ke perempuan yang hafal Alquran ditolak. Alasannya, karena yang bersangkutan masih mondok di Ponpes Yanbu’ul Qur’an Kudus.
Nasir pun disarankan oleh Gus Qoyyum pergi ke salah satu pondok di Demak. Dari tiga santri perempuan yang disarankan pengasuh pondok itu, Nasir memilih salah satunya, Khomsatun.
Ketika mengajukan lamaran ke keluarga, perempuan itu sempat merasa keberatan karena Nasir tak hafal Alquran. Nasir menyadari sebagai orang yang tak hafal Alquran mencari istri hafizah tak mudah.
Namun, dia meyakinkan perempuan pilihannya dengan satu janji. Jika bersedia menjadi istrinya, dia berjanji maksimal tiga tahun akan diberangkatkan haji. Sang perempuan akhirnya bersedia menerima lamaran Nasir.
Keduanya lantas melangsungkan pernikahan pada 1993. Karena sudah menikah, Nasir memutuskan boyong dari Ponpes An-Nur dan menempati rumah yang telah dibangunnya di Demak.
Sejak itulah, setiap hari dia pulang pergi dari Demak ke Lasem. Dia berangkat dari rumah sewaktu-waktu.
Kalau terbangun pukul 02.00 dini hari, dia bergegas berangkat ke Lasem. Namun, sekarang dia lebih sering berangkat dari rumah pukul 04.45 dan sampai Rembang sekitar pukul 08.00.
Nasir dari rumahnya mengendarai sepeda motor ke Demak. Jaraknya sekitar sepuluh kilometer. Sepeda motornya kemudian dititipkan. Nasir lantas naik bus dan turun di Terminal Lasem.
Begitu mendengar azan zuhur, Nasir pergi ke masjid terdekat. Biasanya di selatan Terminal Lasem. Usai salat zuhur, dia kembali pulang naik bus. Sampai di rumah lagi sekitar pukul 16.00.
Nasir menepati janjinya ketika melamar istrinya Khomsatun. Setelah menikah, dia mempunyai kebiasaan yang luar biasa. Yakni, ziarah ke makam Sunan Kalijaga Demak setiap malam Jumat.
Dia selalu mengajak istrinya setelah mengajar mengaji. Biasanya mereka berangkat sekitar pukul 21.00 dengan naik sepeda motor.
Jarak yang ditempuh Abdul Nasir bersama istrinya sekitar 15 kilometer. Mereka baru pulang dari ziarah setelah melewati tengah malam. Itu dilakukan setiap malam Jumat tanpa target apa-apa.
Empat tahun usai dinikahi, dia memberangkatkan ibu dan istrinya ke Tanah Suci. Bapak tiga anak ini masih ingat betul ongkos haji 1997 itu sebesar Rp 7.550.00.
Usai berangkat haji ini, sedikit demi sedikit dia menyisihkan uang untuk membeli tanah. Hasilnya saat ini Nasir memiliki sekitar tiga hektare sawah yang disewakan. Dalam setahun, dia mendapatkan uang sekitar Rp 40 juta dari tanah yang disewakannya.
Selain bisa membeli tanah dan memberangkatkan haji ibu serta istrinya, Nasir juga mampu menyekolahkan dua anaknya hingga perguruan tinggi. Anak pertamanya kini semester VII.
Sedangkan, anak keduanya baru masuk kuliah tahun ini. Anak ketiganya saat ini menginjak kelas XII di MAN Demak.
Selain Abdul Nasir, hal serupa dialami Ahmad Sodiq. Impian untuk menunaikan haji tercapai. Setelah enam tahun menunggu, pria yang jualan koran sejak 1989 ini bersama istrinya masuk dalam daftar antrean haji 2017 ini.
Kemarin siang (7/8) beberapa loper koran beristirahat di halaman rumahnya di Desa Bendar, Kecamatan Juwana, Pati. Sementara itu, di dalam rumah ada beberapa relasi laki-laki yang akrab disapa Sodiq ini bersilaturahmi. Tujuannya memberikan doa kepada Sodiq dan istrinya yang akan pergi ke Makkah pada 23 Agustus mendatang.
Sodiq beserta istri dan anaknya di sela-sela persiapan keberangkatan haji di rumahnya, Senin (7/8). Foto: Sri Putjiwati/Jawa Pos Radar Kudus
Suami Tri Suciati ini mendaftar haji sejak 2011 lalu. Awalnya ia mantap mendaftar haji karena sudah merasa mampu memenuhi kewajiban itu. Keinginan itu muncul sejak 2000 lalu. Akhirnya dia menabung uang sedikit demi sedikit untuk biaya ke Tanah Suci bersama istrinya. Dia mendaftar haji pada 2011 silam.
”Setiap hari menabung tapi tidak pasti, tergantung pemasukan. Kadang sebulan menabung Rp 1 juta, kadang kurang dari segitu. Ya tergantung rezeki saja. Penghasilan dari berjualan koran dan sembako. Yang penting berdoa saja meluruskan niat,” katanya.
Dia mengaku, jualan koran sejak 1989 lalu atau sejak lulus sekolah. Kali pertama membantu kakaknya berjualan koran di Juwana. Lantaran sudah mampu, dia membuka sendiri di sekitar Alun-alun Juwana. Usaha yang dirintis dari nol itu ditekuni dengan serius.
Begitu usahanya berjalan, sekitar 1994 dia melepas masa lajangnya. Dia mempersunting Tri Suciati. Meski saat itu dia belum mapan.
Dia tetap menekuni jualan koran. Untuk hidup mandiri, Sodiq mengontrak rumah di Desa Doropayung, Kecamatan Juwana. Sekitar lima tahun mengontrak, dia membeli rumah di Desa Bendar, Kecamatan Juwana. Rumah tersebut ditempatinya hingga sekarang.
Sodiq mengaku, berjualan koran masih menjanjikan. Kini dia memiliki empat sub agen, dengan enam karyawan. Dia terus merintis jualan koran.
”Alhamdulillah bisa kecukupan membiayai kebutuhan sehari-hari serta biaya anak kuliah dan sekolah. Sekarang sudah dibantu adik saya. Jadi saya hanya mengawasi dan membantu sedikit,” kata ayah dari Astri Fadila Nurulita (semester V di UIN Walisanga), Rahma Riskina (kelas V SD), dan Najwa Firdausi (empat tahun).
Dia mengatakan, apa yang didapatkannya saat ini tak jauh dari kerja keras dan dukungan orang tua. Bahkan, pria 53 ini rajin mengamalkan ibadah seperti salat duha dan rutin bersedekah.
Setidaknya setiap hari Jumat, istrinya memberikan puluhan bungkus nasi ke warga kurang mampu. Kebiasaan itu dilakukan sudah lama. Hal itu bermula saat dia introspeksi diri untuk berbuat lebih baik sejak ada insiden tokonya dibobol maling pada 2005 lalu.
”Kemalingan itu mungkin sebagian dari peringatan Allah. Alhamdulillah sejak saat itu saya suka bersedekah. Ini bukan ria dengan pamer bersedekah. Namun, bersedekah insya Allah membuat kami merasa kecukupan. Kebutuhan sehari-hari cukup, mau bayar setoran cukup, untuk biaya anak kuliah juga cukup,” ucap anak ketiga dari enam bersaudara ini.(ks/ris/lil/top/JPR)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Raih Adipura Kencana, Begini Tanggapan Bupati Kudus
Redaktur : Tim Redaksi