M. Syukur layak menyandang sebutan doktor cabai. Bayangkan, sudah 13 tahun pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB) itu meneliti cabai. Termasuk, tentu saja, mencicipi kadar kepedasan ratusan varietas cabai temuannya.
GUNAWAN SUTANTO, Bogor
Selain mengajar, hari-hari M. Syukur banyak dihabiskan di rumah. Rumah di kompleks dosen Alam Sinar Sari, Cibeureum, Dramaga, Bogor, itu telah disulap menjadi ’’laboratorium’’ cabai. Terletak di belakang rumahnya, laboratorium itu berupa sebuah bangunan yang cukup asri –dikelilingi taman dan kolam ikan-- serta lahan kebun cabai seluas 600 meter persegi.
Sabtu (20/7), ketika Jawa Pos berkunjung ke rumahnya, M. Syukur sedang di kebun. Dibantu dua mahasiswa yang menjadi asistennya, dia tengah mengecek pertumbuhan benih-benih cabai varietas baru temuannya. Salah satunya cabai hibrida IPB CH3 dan Seloka IPB. Keduanya merupakan varietas cabai unggul yang dihasilkan Syukur dalam penelitiannya yang berada di bawah naungan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.
’’IPB CH3 mulai diteliti 2003 dan baru dirilis 2010. Itu merupakan varietas sayuran pertama yang dirilis perguruan tinggi. Yang ada selama ini varietas milik perusahaan,’’ papar pria kelahiran Sri Kembang, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, itu.
Sembari meneruskan penjelasannya, Syukur menyalakan laptop warna silver miliknya. Dia lalu menunjukkan sejumlah paparan data mengenai cabai di Indonesia. Dia juga menjelaskan awal mulanya intensif meneliti varietas cabai.
’’Penelitian tentang cabai ini intensif saya lakukan ketika saya S3. Penelitian itu saya siapkan untuk disertasi sekaligus membantu penelitian istri saya,’’ paparnya.
Syukur tergolong akademikus yang unik. Dia beristri pemulia tanaman cabai dan tomat. Dalam program doktornya, istri Syukur, Rahmi Yunianti, juga meneliti tentang cabai, khususnya penyakit yang sering menjadi hama tanaman itu. Sayang, Tuhan berkehendak lain. Setahun yang lalu Rahmi dipanggil sang Khalik saat melahirkan anak ketiga mereka.
’’Kami dulu melakukan penelitian bersama tentang cabai. Terutama penyakit-penyakit pada cabai yang kemudian memunculkan varietas unggul baru,’’ terang Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) itu.
Varietas cabai unggulan yang dihasilkan Syukur dan timnya memiliki keunggulan yang tahan terhadap penyakit. Terutama penyakit antraknosa yang selama ini banyak ditakuit petani cabai.
’’Penyakit ini kalau masyarakat Jawa menyebutknya patek. Penyakit ini bisa menyerang jantung pada manusia,’’ ujarnya.
’’Maksud saya petaninya jantungan karena panennya bisa hancur sampai 70 persen akibat penyakit ini,’’ sambung pria kelahiran 2 Januari 1972 itu.
Usai menjelaskan penyakit antraknosa itu, Syukur mengajak wartawan koran ini ke pekarangannya. Dia menunjukkan cabai yang terkena antraknosa. Biasanya langsung busuk, berwarna hitam kering seperti tersengat matahari.
’’Penyakit ini biasanya menyerang cabai yang hampir merah. Sungguh membuat petani dongkol,’’ terangnya. Di Indonesia penyakit inilah yang paling ditakuti petani cabai.
Selain kebal penyakit, varietas baru temuan Syukur dan timnya juga memiliki keunggulan lain. Misalnya IPB CH3 yang memiliki produktivitas tinggi dengan potensi panen 1,11 kg per tanaman. Umur panen lebih cepat dan memiliki tingkat kepedasan empat 4 kali dibanding cabai biasa.
’’Daya simpannya juga lebih lama dibanding cabai biasa. Sehingga tidak mudah busuk. Bisa disimpan hingga dua minggu,’’ jelasnya lagi.
Cabai Hibrida IPB CH3 lebih cocok ditanam di lahan yang luas. Hal itu agar proses tanam dan perawatannya lebih maksimal. Maklum, benih cabai yang satu ini termasuk mahal harganya, sehingga perlu kehati-hatian untuk memperlakukannya.
Sedangkan yntuk petani kelas menengah ke bawah yang memiliki lahan lebih sempit, Syukur menciptakan varietas cabai Seloka IPB.
Tidak hanya mengembangkan varietas cabai besar, Syukur juga sedang meneliti cabai hias. Cabai ini bisa ditanam di pot untuk hiasan rumah. Bentuk cabainya memang indah. Beberapa di antaranya memiliki bentuk seperti paprika dengan warna bermacam-macam. Ada merah, kekuningan, dan keunguan. Salah satu cabai hias yang dikembangkan ialah Seroja IPB.
’’Meski kecil dan warnanya kurang garang, kepedasan cabai ini bisa 10 kali lipat cabai rawit yang beredar di pasaran,’’ tuturnya.
Menurut Syukur, jika satu rumah bisa menanam 10 pot cabai Seroja IPB, sebenarnya kebutuhan cabai keluarga pemilik rumah bisa terpenuhi tanpa harus membeli di pasar.
Kebun di belakang rumah Syukur memang tidak hanya ditanami cabai. Dia juga menanam varietas-varietas tomat baru. ’’Kenapa saya juga meneliti tomat, karena ini dulu yang didalami istri saya. Saya ingin meneruskannya,’’ ungkapnya.
Syukur memang begitu sayang pada istri yang merupakan adik kelasnya semasa kuliah. Bahkan, saking cintanya, perempuan asal Pekanbaru, Riau, itu dimakamkan di kompleks laboratorium keluarga Syukur.
’’Di pojok sana makam istri saya,’’ kata Syukur sambil menunjukkan letak makam istrinya.
Untuk penelitiannya tentang tomat, Syukur lebih fokus untuk mengamati varietas baru tomat hias. Menurut dia, masyarakat Indonesia selama ini mengonsumsi tomat sebagai sayuran. ’’Saya ingin suatu saat nanti tomat dimakan seperti buah jeruk atau mangga. Makanya saya sekarang sedang bikin penelitian untuk menghasilkan tomat berukuran kecil tapi manis,’’ terangnya.
Atas kerja kerasnya dalam pemuliaan cabai, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menobatkan Syukur dan istrinya, almarhumah Rahmi, sebagai penerima Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa (AKIL). Syukur mengaku terkesan dengan penghargaan yang diserahkan Mendiknas M. Nuh itu.
’’Saya bersyukur, kerja keras kami selama ini ternyata dihargai oleh pemerintah,’’ tandas dia. (*/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiga Hari Digembleng Marinir agar Bermental Juara
Redaktur : Tim Redaksi