Ada Pasal yang Berubah, Aturan Pesangon dalam UU Cipta Kerja Untungkan Pekerja & Pengusaha

Jumat, 25 Desember 2020 – 19:41 WIB
Aturan mengenai pesangon buruh terkena PHK di UU Cipta Kerja. Ilustrasi Foto: Antara

jpnn.com, JAKARTA - Akademisi Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Walisongo Semarang M. Harun mengatakan ada sekitar 68 pasal tentang ketenagakerjaan yang diubah, dihapus.

Bab IV Ketenagakerjaan Undang-Undang (UU) No. 11/2020 tentang Cipta Kerja mengubah, menghapus dan menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam UU no. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

BACA JUGA: UU Cipta Kerja Meningkatkan Nominal Denda bagi Pelanggar Pemanfaatan Tata Ruang

"Bahkan ada formulasi baru yang diselipkan pada beberapa pasal,” beber Harun dalam seminar bertajuk Pertanggungjawaban Pidana dalam UU Cipta Kerja, yang diselenggarakan Centre of Law and Constitution Studies (CLC-Studies) UIN Walisongo Semarang dan Pusat Pengabdian untuk Masyarakat (PPM) UIN Jakarta.

Harun menyimpulkan berdasarkan kajiannya, pengaturan baru tersebut akan berimplikasi pada pengusaha ataupun pekerja.

BACA JUGA: Tak Bisa Menahan Air Mata, Astrid Tiar: Tuhan tahu yang Terbaik

Ada pasal-pasal yang sama-sama menguntungkan dan ada juga pasal-pasal yang lebih menguntungkan salah satu pihak, baik pengusaha ataupun pekerja.

“Dalam pasal-pasal yang dihapus, diubah dan disisipkan itu tentu ada pihak-pihak yang sama-sama diuntungkan, yakni pihak pengusaha dan pihak pekerja. Tapi di sisi lain, ada pihak yang diuntungkan ataupun ada pihak yang dirugikan, baik pekerja ataupun sebagian kecil pengusaha,” jelas Harun.

BACA JUGA: Suami Zaskia Gotik Positif Covid-19

Dia mencontohkan pengaturan baru yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak, yakni pasal 156 ayat (2) UU Cipta Kerja yang mengatur besaran uang pesangon dan ayat (3) mengatur besaran uang penghargaan masa kerja.

“Perbandingan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja tentang uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja ternyata tidak ada kelompok yang dirugikan atau sama-sama diuntungkan,” ungkap Dosen Hukum Pidana FSH UIN Walisongo Semarang itu.

Sebagai informasi, yang membedakan ketentuan pesangon dalam UU Cipta Kerja dengan UU Ketenagakerjaan salah satunya adalah perubahan atas pasal 185. 

Jika dalam UU sebelumnya tidak diatur sanksi pidana bagi pelanggar pembayara pesangon, maka UU Cipta Kerja menambahkan pelanggar ketentuan pesangon (156 ayat 2) di dalam pasal 185 UU Cipta Kerja tersebut.

Dengan demikian, bagi pelanggar Pasal 156 ayat 2 yang mengatur besaran uang pesangon yang wajib diberikan kepada pekerja, maka dia terancam sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit 100 juta dan paling banyak 400 juta.

Soal pertanggungjawaban tindak pidana, Harun melihat wilayah UU Cipta Kerja adalah hukum pidana khusus.

“Karena wilayah UU Cipta Kerja adalah hukum pidana khusus, maka subyek hukum pidana itu berupa orang per orangan dan perkumpulan atau badan hukum, atau korporasi,” terangnya.

Dari lima teori atau doktrin pertanggung jawaban pidana korporasi, Harun menyebut dua teori yang sesuai dengan UU Cipta Kerja atau peraturan lain yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban pidana oleh korporasi.

Yakni, teori identifikasi atau direct liability doctrine dan doktrin pertanggugjawaban pidana agregasi.

“Teori identifikasi ini penitikberatannya pada bagaimana pertanggunjawaban pidana itu baru bisa dibebankan pada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang diidentifikasi sebagai directing mind atau otak langsung yang menjalankan seluruh aktivitas korporasi,” jelasnya.

Adapun doktrin pertanggugjawaban pidana agregasi, lanjutnya, itu menitikberatkan pada kesalahan sejumlah orang secara kolektif, yang bertindak atas nama dan kepentingan suatu korporasi.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler