jpnn.com, JAKARTA - Polemik seputar pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK untuk proses alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), hingga saat ini belum reda.
Terbaru, Jumat (13/8) kemarin Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengajukan keberatan terhadap Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI mengenai dugaan maladministrasi dalam pelaksanaan TWK dimaksud.
BACA JUGA: Menanggapi Kesimpulan Ombudsman RI, BKN Menyatakan Sangat Keberatan
Menanggapi polemik tersebut, Sekjen Partai Gelora Indonesia Mahfudz Siddiq menduga ada pihak yang ingin menjadikan masalah TWK pegawai KPK sebagai panggung besar yang ramai dan lama.
"Saya melihat dari perspektif politik, ini ibarat satu panggung kecil. Karena ini perkara kecil. Saya membacanya panggung ini ingin dibuat ramai. Di atas panggung itu ada yang pro kontra, mereka tidak terlalu peduli," kata Mahfudz dalam siaran persnya, di Jakarta, Sabtu (14/8).
BACA JUGA: Kisruh TWK KPK Tak Kunjung Usai, Fahri Hamzah Cetuskan Ide Konsolidasi Sistem Presidensial
Menurut dia, dalam panggung besar itu yang penting goal-nya, bukan ingin kembali ke KPK.
"Maunya mereka panggung ini dibikin ramai dan panjang. Ujungnya sampai 2024," katanya saat menjadi pembicara dalam Webinar Series Moya Institute bertajuk "Kontroversi Temuan TWK 51 Pegawai KPK", Jumat (13/8).
BACA JUGA: Dokter Boyke: Pria Boleh Lakukan Ini Agar Wanita Terpuaskan, Asalkan...
Mahfudz menyebutkan, pada 27 Mei 2021 saat membawa kasus ini ke Komnas HAM, salah seorang pegawai KPK mengatakan persoalan ini akan selesai kalau Presiden propemberantasan korupsi.
"Jadi, intinya panggung ini akan dibikin panjang, orang diundang ramai-ramai sehingga salah satu isu kontestasinya pada 2024, yaitu mana yang propemberantasan korupsi atau tidak pro," papar Mahfudz.
Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto menilai masalah TWK ini sudah hampir selesai ketika tereliminasinya 51 orang pegawai KPK dari alih status ASN dan yang sebagian lulus.
"Ternyata polemik tidak sampai di situ setelah ada temuan Ombudsman, di mana hasilnya ada malaadministrasi dan rekomendasinya meminta agar ada koreksi terhadap 51 pegawai KPK yang tidak lulus untuk diangkat," imbuhnya.
Selain itu, sambung Hery, mereka meminta Presiden untuk turun tangan. Sebagai orang awam hukum, ia mengaku lebih banyak menyimak.
Namun kalau sampai meminta Presiden turun tangan langsung, Hery menilai itu berlebihan karena prosesnya sudah berlangsung.
Kepentingan besarnya adalah terciptanya penegakan hukum yang kapabel, berintegritas, independen, dan bisa sesuai harapan masyarakat dimana penegakan korupsi secara masif, katanya.
"Hemat saya, jika kita terlalu larut dengan polemik ini, tidak produktif di tengah upaya bangsa kita memutus mata rantai penyebaran COVID-19," ujarnya.
Pakar Hukum Administrasi Negara Prof. Aidul Fitriciada memaklumi jika ada anggapan polemik TWK Pegawai KPK ini bukan persoalan hukum.
Menurut dia, dalam membaca kasus ini, ada persoalan yang bukan semata-mata hukum.
"Sehingga bagi saya penyelesaiannya bukan hanya soal hukum lagi. Tapi soal untuk menyelesaikan hubungan antarlembaga. Termasuk TWK ini, penyelesaiannya seperti apa. Ini harus betul-betul selesai dengan prinsip hukum yang ketiga, yaitu menemukan kemaslahatan bersama, kepentingan bangsa yang diutamakan dengan kemudian tidak menguras energi," ujar Aidul. (antara/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Soetomo