Sara Mirabi, seorang 'engineer' perempuan asal Iran mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan ke jenjang S3 di Australia dan menekuni bidang kecerdasan buatan.

Tapi kandidat PhD dari Deakin University di Melbourne tersebut masih tertahan di negaranya dan harus menunda kuliahnya untuk ketiga kalinya karena visa-nya masih belum keluar.

BACA JUGA: Ini Sejumlah Hal yang Perlu Anda Ketahui soal Gelomban Panas yang Tengah Memanggang Dunia

Dalam waktu bersamaan, proyek yang akan dikerjakannya pun menjadi tidak menentu karena dia masih belum ke Australia.

"Untuk saat ini saya hanya merasakan stres," kata perempuan berusia 31 tahun tersebut.

BACA JUGA: Filosofi di Balik Rabu Pon, Hari Favorit Presiden Jokowi untuk Umumkan Keputusan Besar

"Saya merasa ada tekanan kuat dan kadang tidak bisa mengontrolnya, karena bukan cuma sehari dua hari saja, ini sudah berlangsung dua tahun."

Sara adalah satu dari belasan mahasiswa S3 asal Iran yang masih mengalami masalah dengan visa mereka, yang sekarang khawatir beasiswa dan posisi mereka akan hilang jika masih belum ada kepastian.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Gelombang Panas Menerjang Aljazair Menyebabkan Kebakaran Hutan

Kebanyakan dari mereka adalah para profesional muda dan peneliti di sektor sains, teknologi, teknik dan matematika atau dikenal di Australia dengan istilah STEM.

Diperkirakan Australia akan kekurangan tenaga terampil di sektor ini dalam beberapa tahun ke depan.

Mereka menuduh Departemen Dalam Negeri Australia dengan sengaja mempersulit pengajuan visa dari Iran, serta melakukan pengecekan keamanan mereka, akibat sejumlah protes politik dan sanksi internasional terhadap Iran.

Departemen Dalam Negeri berulang kali membantah jika ada perlakukan berbeda bagi warga dari negara-negara tertentu.

Para pejabat di universitas mengatakan memang tidak ada kesengajaan untuk memperlambat visa dari negara tertentu, tapi para peneliti muda di sektor tersebut sudah menghadapi masalah lamanya pengurusan visa sejak sebelum pandemi.Tak mau datang karena pengecekan keamanan

Bagi Hamed, yang hanya mau menggunakan nama depannya, penantian selama 22 bulan terakhir sudah sangat menyiksa.

Dia berharap proyek penelitian akan lebih murah bila dilakukan di Australia, selain juga akan mempermudahnya.

Namun sampai sekarang ia masih berada di Iran dan tidak tahu sampai kapan harus menunggu visa-nya keluar.

"Penting sekali untuk bisa berada di kampus Wollongong melanjutkan penelitian saya," kata Hamed.

"Fase berikutnya dalam penelitian saya memerlukan akses ke laboratorium."

Di akun Twitter-nya ia sudah melakukan kontak dengan belasan mahasiswa asal Iran yang juga mengalami keterlambatan mendapatkan visa lebih dari 10 bulan, sampai proyek mereka tertunda dan khawatir beasiswanya akan dicabut.

Ia yakin pemeriksaan keamanan nasional yang dilakukan pada dirinya lebih ketat, karena ia berasal dari Iran.

Kini, Hamed mempertimbangkan untuk pindah ke Amerika Serikat untuk melanjutkan penelitiannya jika proses visa-nya terus tertunda.

Universitas di mana Hamed terdaftar sudah menghubungi Alison Byrnes, anggota parlemen dari Partai Buruh yang mewakili daerah pemilihan Cunningham, lokasi di mana universitas berada.

ABC sudah melihat surat dari Menteri Imigrasi Andrew Giles kepada Alison di bulan Februari 2023.

Andrew mengatakan ia mengerti jika penundaan visa tersebut "sangat mengecewakan bagi semua pihak".

Namun "semua warga yang mengajukan permohonan visa untuk masuk ke Australia akan diperiksa secara individu berdasarkan aturan hukum yang ada."

"Ini semua termasuk soal pemeriksaan kesehatan, karakter dan keamanan nasional."

Hamed mengatakan surat dari Menteri Imigrasi tersebut tidak menjelaskan mengapa dia harus mengalami pemeriksaan yang lama.

Demikian juga dengan Alireza Allahyari yang sudah menunggu visanya selama 18 bulan.

"Tidak ada penjelasan yang jelas atau pun kepastian kapan visa akan keluar bagi mahasiswa S3," kata Alireza.

Ia mengatakan sudah meminta bantuan kepada beberapa kelompok akademis, namun mereka juga mengalami kebingungan dengan proses yang lama.

Juru bicara Departemen Dalam Negeri Australia mengatakan mereka tidak memberikan komentar mengenai kasus individu ketika ditanya mengenai pengajuan visa keduanya.

"Rata-rata proses pengajuan visa mahasiswa di bulan Maret 2023 adalah 15 hari, 69,4 persen kurang dari masa sebelumnya yaitu 49 hari di bulan Desember 2022," kata juru bicara tersebut.Usulan ada visa jenis baru

Vicki Thomson adalah direktur eksekutif Group of Eight, yaitu kelompok dari delapan universitas terkemuka di Australia.

Ia mengatakan tidak sependapat jika mahasiswa dari negara tertentu menjadi sasaran.

Namun dia mengakui bahwa mahasiswa S3 khususnya dari ilmu-ilmu STEM sudah menderita karena proses visa yang panjang yang bisa merusak citra penelitian Australia.

"Adalah hal yang tidak bisa diterima jika beberapa mahasiswa harus menunggu keputusan lebih dari 12 bulan dan pada dasarnya hidup mereka tidak bergerak," ujarnya.

Ia juga mengatakan penundaan pemberian visa bagi peneliti STEM asal luar negeri adalah sebuah masalah global "di tengah meningkatnya pengecekan keamanan" di kalangan para peneliti, dan Australia mengalami masalah lebih besar dibandingkan negara lain, seperti Inggris.

"Namun pada akhirnya semua adalah keputusan pemerintah," ujarnya.

"Apa yang ingin kami katakan adalah bisakah mereka membuat keputusan dalam waktu lebih singkat?"

Dalam waktu bersamaan Australia sangat memerlukan pekerja STEM berketerampilan tinggi dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan.

Data dari pemerintah menunjukkan sejak tahun 2016, pekerja di sektor STEM di Australia sebagian besar adalah pekerja migran, dengan enam dari 10 staf STEM di universitas di Australia lahir di luar negeri.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... Drama Dua Negara di Balik Pembakaran Al-Quran

Berita Terkait