Adi Taroepratjeka dan Mia Handayani, Pasutri Tester Kopi

Teliti Rasa dari Unsur Tanah dan Kecepatan Angin

Sabtu, 24 Maret 2012 – 00:04 WIB
SEJOLI KOPI: Mia Handayani (kiri) dan Adi Taroepratjeka (kanan) mejeng di lukisan bertema kopi. Foto; Agung Putu Iskandar/Jawa Pos

Bermodal cinta pada kopi, sejoli Adi Taroepratjeka dan Mia Handayani akhirnya menjadi tester kopi kelas dunia. Mereka mengabdikan hidup sebagai tester karena meyakini bahwa kopi lebih dari sekadar rasa pahit dan warna hitam.
 
 AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta
 
JUMLAH pengetes alias tester kopi di Indonesia memang tidak langka. Tetapi, juga tidak banyak. Mayoritas adalah mereka yang memang berhubungan dengan minuman legendaris dunia tersebut. Itu berbeda dari Adi dan Mia yang menjadi tester karena memang suka kopi.
 
Secara simpel, tugas tester kopi adalah menilai rasa. Sebab, tidak semua kopi pahit. Rasa kopi sering bercampur antara asam, kecut, dan pahit. "Profesi ini agak aneh. Kami menilai hal-hal yang berkaitan dengan rasa yang itu bisa sangat subjektif," kata Adi saat ditemui di sebuah diskusi tentang kopi di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan (17/3).
 
Adi dan Mia menilai unsur-unsur dalam kopi. Di antaranya, acidity (persepsi terhadap keasaman), persepsi terhadap kekentalan, fragrance (aroma), dan aftertaste atau rasa yang ditinggalkan setelah menyeruput kopi. Paduan berbagai unsur penilaian itulah yang membentuk nilai keseluruhan kopi. "Masing-masing daerah tidak sama," ujar Adi.
 
Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai ukuran standar internasional negara pengimpor kopi untuk mengetahui rasa kopi dalam angka. Dengan begitu, mereka bisa tahu kopi mana yang cocok buat konsumennya. "Kami melakukannyaa secara freelance. Tidak terikat pada produk tertentu," tutur lelaki kelahiran 1975 itu.
 
Proses mendapatkan sertifikat tester internasional tidak gampang. Adi harus mengikuti serangkaian ujian kompetensi. Awalnya dia menjalani pelatihan untuk tester kopi tingkat nasional pada 2005. Saat itu dia melakoninya seminggu di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember, Jawa Timur (Jatim).
 
Mayoritas peserta adalah orang-orang yang berkecimpung di dunia kopi. Mulai pengusaha kopi, petani, hingga juragan kedai kopi. Adi dan Mia berasal dari kalangan yang tidak diperhitungkan: pencinta kopi. "Semuanya dari produsen atau marketing kopi. Cuma kami tester kopi yang berasal dari end user," kata Adi.
 
Setelah mengantongi ijazah kopi tester nasional, Adi kemudian mengikuti pelatihan tester kopi internasional pada 2008 di Bali. Jika sebelumnya hanya mencecap kopi Nusantara, kali ini dia harus menyeruput kopi dari berbagai belahan dunia. Sejak itulah dia menjadi tester kopi internasional.
 
Dalam pelatihan sebagai tester kopi, Adi belajar mengetes kopi. Untuk menguji kopi, ada standard operating procedures yang harus ditaati. Misalnya, berapa gram bubuk kopi yang digunakan, berapa mililiter airnya, kandungan mineral, dan suhu. Dari situlah, unsur-unsur pembentuk rasa kopi bisa dipilah-pilah.
 
Adi mengatakan, paduan unsur pembangun rasa kopi itulah yang membedakan "identitas" kopi. Kopi yang banyak unsur asam, biasanya, dikenali dari jenis tanah yang mengandung phosphoric acid. "Biasanya yang begitu itu kopi dari Afrika. Rasanya agak sedikit kecut-kecut," ucapnya.
 
Lain lagi dengan kopi dari daratan Amerika Selatan. Kopi dari kawasan itu memiliki kekentalan dan rasa pahit yang khas. Hampir tidak ada unsur rasa yang lain. "Kopi mereka "sangat kopi"," ungkap Mia.
 
Bagaimana dengan kopi Indonesia" Menurut Adi, spektrum rasa kopi Indonesia sangat luas. Mulai kopi Sumatera, Bali, Cirebon, hingga sejumlah wilayah Jatim. Bahkan, perusahaan kebun kopi di Jatim menanam kopi yang sudah pasti pelanggannya. Misalnya, kopi yang ditanam di Belawan, Bondowoso, spektrum rasanya sudah fasih dengan lidah orang Italia.
 
Adi mengatakan, rasa kopi bergantung kondisi tanah dan cuaca. Mulai curah hujan, kecepatan angin, hingga suhu udara. Kandungan mineral, zat organik dalam tanah, dan kesuburan tanah ikut dalam memberi rasa kopi. Cara memahami kopi hampir seperti cara memahami wine. Yakni, memakai pendekatan terroir, mengenali kopi berdasar letak geografis dan iklimnya.
 
"Pada akhirnya jenis kopi akan terus terpisah-pisahkan. Misalnya, kopi Sumatera. Ini Sumatera mana" Oh, Mandailing. Ini Mandailing mana" Sampai akhirnya kita bisa tahu bahwa ini kopi dari kebun pak itu yang letaknya diteduhi pohon rindang jenis ini," katanya.
 
Spektrum rasa kopi Indonesia bakal semakin meluas dengan upaya mengurai rasa kopi berdasar unsur-unsurnya. Dia mencontohkan kopi Kintamani, Bali, yang dikenali dengan unsur rasa kecut seperti jeruk. "Itu sudah menjadi ciri khas kopi Kintamani," jelasnya.
 
Selain soal di mana kopi itu tumbuh, Adi meneliti bahwa jenis air untuk menyeduh kopi juga memengaruhi rasa. Semakin tinggi kadar mineral, rasa kopi yang dihasilkan akan makin nikmat. Sebab, kopi membutuhkan mineral dalam air untuk membantu mengekstrak minyak yang terkandung dalam sel-sel bubuk kopi.
 
"Air dengan kandungan mineral tinggi menghasilkan larutan kopi yang lebih kaya. Sementara semakin sedikit mineral, rasa kopinya akan semakin datar," tuturnya.
 
Kisah Adi jatuh cinta pada kopi sejatinya menarik. Saat mengikuti pertukaran pelajar di Amerika Serikat (AS) pada 1992"1993, dia tinggal bersama keluarga angkat yang pencinta kopi. Setiap hari mereka mendapat kiriman kopi dengan rasa berbeda. 
 
Adi tidak habis pikir. Bukankah rasa semua kopi sama. Sama-sama pahit dan hitam legam. Akhirnya dia iseng-iseng mencecap minuman dari biji-bijian. Lambat laun, dia jatuh cinta pada minuman yang konon ada sejak 1.000 tahun sebelum Masehi (SM) itu.
 
Kembali ke Indonesia, Adi menempuh kuliah di Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, dia merasa itu bukan dunianya. Makin lama bertahan, semakin dia tidak nyaman. Padahal, jauh di dalam hatinya dia menginginkan aktivitas yang berhubungan dengan kuliner. Adi lantas banting setir dengan menempuh studi di sebuah perhotelan di Bandung.
 
Kegemarannya di bidang kuliner mengantarkannya bertemu begawan kuliner William Wongso. Adi sempat mendiskusikan kesukaannya bereksperimen mencampur berbagai bahan makanan (fusion). William tak terlalu tertarik dengan paparan Adi. Dia pun berkata kepada lelaki kelahiran Bandung itu, "Kalau kamu belum bisa bikin sambal yang enak, kamu belum bisa mencampur makanan."
 
Adi merenungkan pernyataan William. Akhirnya, dia memutuskan untuk kembali ke rasa cintanya pada kopi. Dalam suatu acara keluarga, dia berkesempatan ke Ternate. Di sebuah perkebunan kopi, dia mendapati sebuah pabrik besar bikinan Jepang.
 
Rupanya, perusahaan kopi asal Jepang mengembangkan kopi arabika dengan dominasi sejumlah rasa asam dan manis. Dia terkaget-kaget karena perusahaan tersebut memiliki mesin pengolah mesin superbesar. Bahkan, besarnya hampir sekamar hotel.
 
Dari orang yang ditemui di situlah, dia mendapat informasi bahwa ada pelatihan tester kopi di Jember. "Rasanya, semua jalan dibukakan kepada saya," katanya. Dalam pelatihan itu, dia mengajak Mia yang saat itu masih pacarnya. (*/c10/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cosmas Hendrikus Riberu; Dari Petinju Jadi Kartunis


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler