jpnn.com - "TEMPEEEEEEEEE...!!!" Teriak puluhan karyawan di depan pabrik saat mereka berfoto bersama saya. Pada foto itu nanti pasti terlihat wajah mereka yang ceria dengan bentuk mulut yang lucu.
Saya mengunjungi PT Kertas Kraft Aceh (KKA) di Arun pekan lalu. Para karyawan menyambut dengan penuh kegembiraan. Minta foto bersama. Hari itu upaya mereka menghidupkan kembali PT KKA menampakkan hasil awalnya.
Dua turbin yang sudah lebih 15 tahun mangkrak bisa hidup kembali. Listrik 16 megawatt bisa dijual ke PLN. Perusahaan mulai mendapat penghasilan. PLN mendapat tambahan listrik.
Kondisi KKA sudah sedikit berbeda dibanding saat saya mengunjunginya dua tahun lalu. Waktu itu suasananya senyap. Tidak ada kehidupan. Di mana-mana terlihat bagian-bagian pabrik yang reyot dan tidak terpelihara. Kini pabrik kertasnya memang belum hidup, tapi pembangkit listriknya sudah mulai memberi hasil. "Pabrik ini sudah mulai bersuara," ujar Andriano, Dirut KKA.
Untuk menghidupkan pabriknya sendiri, masih perlu waktu. Menunggu penyelesaian hutan tanaman industri (HTI) yang juga sudah lebih 15 tahun berhenti produksi. Hutan itu dimiliki bersama antara perusahaan milik Pak Prabowo Subianto (60 persen) dan BUMN PT Inhutani IV (40 persen).
Kami masih harus merundingkannya agar bisa dikelola lebih baik. Untuk bisa menjadi sumber bahan baku bagi KKA.
Kertas kraft (kertas khusus untuk kantong semen) memang memerlukan bahan baku khusus, yakni pohon pinus. Tidak bisa dibuat dari serat pohon lain. Selama ini industri semen masih impor kertas jenis kraft.
Hari itu saya bermalam di Idi Rayeuk, ibu kota kabupaten baru Aceh Timur. Menikmati martabak durian yang hanya bisa didapat di Aceh. Nyam-nyam sekali. Semalam suntuk saya harus mengucapkan terima kasih kepada Bupati Aceh Timur Hasballah M. Thaib.
Bupati ini masih sangat muda, aktif, blusukannya masya Allah, celananya jins, panggilannya Rocky. Tanyalah kepada sepuluh orang Aceh Timur: siapa nama bupati mereka. Sebelas orang akan menjawab: Rocky. Nama Hasballah hanya ada di surat-surat resmi.
Hasballah, eh Rocky,-lah yang banyak membantu sehingga pembangunan pipa gas dari Arun menuju Medan sepanjang 345 km sudah mencapai 95 persen. Hanya dalam waktu 14 bulan. Dulu banyak yang menyangsikan proyek ini bisa jalan. Apalagi harus melalui wilayah Aceh.
"Kini yang belum selesai justru di wilayah Medan," gurau Rocky.
Saya pun cium tangannya. Pikiran Rocky memang sangat maju. Dengan dilewati pipa gas, dia bisa mengundang investor untuk datang dan memajukan Aceh Timur. PT Pertagas, anak usaha Pertamina yang membangun proyek ini, memang menyediakan keran-keran di sepanjang wilayah Aceh.
Di Aceh Timur saja ada tiga keran. Kapan saja bisa dibuka. Kalau ada pabrik yang perlu gas di sana.
Saya memang dag-dig-dug menghadapi proyek ini: harus menggelar pipa sepanjang 345 km! Tanpa APBN. Harus cepat selesai. Ini karena dua tahun lalu saya membatalkan proyek penerima LNG terapung di Medan. Harus ada gantinya.
Waktu itu saya berpikir untuk apa investasi penerima LNG terapung senilai Rp 5 triliun. Padahal, sudah ada aset negara yang fungsinya sama. Hanya letaknya di Lhokseumawe, Aceh. Aset ini berupa instalasi pembuat LNG yang nilainya sekitar Rp 30 triliun.
Kalau proyek penerima LNG terapung itu jadi dibangun, aset di Aceh yang besarnya tiga kali LNG Tangguh ini akan menganggur. Mubazir Rp 30 triliun. Ekonomi Aceh pun terganggu. Saya tidak bisa membayangkan kalau sampai instalasi LNG Arun ini dibiarkan jadi besi tua.
Dia memang sudah mengabdi selama 40 tahun. Tapi, kondisinya masih sangat jreng. Pemeliharaannya sangat prima dan bagus. Gedung-gedungnya, stadionnya, perumahannya, sekolah-sekolahnya masih yang terbaik di Aceh.
Dan pelabuhannya? Bikin air liur menetes! Dermaganya dua buah. Di dua sisi yang berseberangan. Dalamnya 18 meter. Dan pelabuhan ini berada di dalam teluk yang sengaja dibuat sempurna.
Kalau pipa ke Medan itu tidak dibangun enam minggu lagi, semua itu sudah tidak ada gunanya. Tanggal 15 Oktober depan adalah pengapalan terakhir LNG dari Arun ke Jepang. Sumur gas di Arun sudah terkuras habis selama 40 tahun lebih.
Maka instalasi itu kami putuskan untuk difungsikan sebaliknya: dari pengubah gas menjadi LNG untuk dikirim keluar Aceh menjadi penerima LNG dari luar untuk dijadikan gas. LNG-nya bisa datang dari Tangguh, Bontang, atau dari luar negeri.
Setelah LNG diubah menjadi gas, gasnya dialirkan lewat pipa tadi. Untuk PLN dan industri di Aceh dan Medan. Di Lhokseumawe, misalnya, kini sedang dibangun pembangkit listrik 200 megawatt yang akan memanfaatkan gas LNG ini.
PT PGN sendiri yang semula ingin membangun penerima LNG terapung di Medan mengalihkannya ke Teluk Lampung. Proyek PGN ini juga sudah hampir jadi. Bulan depan sudah beroperasi. Maka dua tahun terakhir ini kita menjadi memiliki dua penerima LNG terapung (yang satu lagi di Teluk Jakarta), satu penerima LNG eks Arun, dan kita punya pipa sepanjang 345 km. Semuanya non-APBN.
Program Pak Zaini Abdullah, gubernur Aceh, pun berjalan cepat. Saya memang sering bertemu beliau untuk minta dukungan. Kadang dengan kesungkanan yang tinggi. Pak Gubernur ini orangnya sangat baik, tutur katanya sangat halus, dan pembawaannya luar biasa santun.
Rupanya profesi beliau sebagai dokter dan kealimannya sebagai ulama (dokter yang ulama) tetap terbawa ketika beliau jadi gubernur. Sering sekali, sebagai orang Jawa, saya merasa terlalu kasar di hadapan beliau. (*)
BACA JUGA: Beribu Keruwetan untuk 8.000 Hektare Lahan
Oleh Dahlan Iskan
Menteri BUMN
BACA JUGA: Merdeka Rp 6,7 Triliun di Usia 155 Tahun
BACA JUGA: Gerak Gerbong Mandalika Menuju Toba
BACA ARTIKEL LAINNYA... Di Balik Jonan yang Meringkuk dan Danang yang Meringis
Redaktur : Tim Redaksi