jpnn.com, JAKARTA - Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Hindra Irawan Satiri memastikan, proses pembuatan vaksin Covid-19 dilakukan dengan kehati-hatian.
Tentunya, kata dia, pembuatan vaksin memperhatikan sisi keamanan, agar memberikan pelayanan yang aman bagi pasien.
BACA JUGA: Vaksin COVID-19 Penting untuk Meningkatkan Imunitas Tubuh
Hal itu disampaikannya pada acara Dialog Produktif bertema Keamanan Vaksin dan Menjawab KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi), yang diselenggarakan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Kamis (18/11).
Sebagai catatan, uji klinik vaksin Sinovac untuk COVID-19 telah masuk fase III dan selesai melakukan penyuntikan kepada seluruh sukarelawan di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad).
BACA JUGA: Kakak Beradik Menyerahkan Diri, Pengakuan Mereka Bikin Elus Dada
Dalam proses tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan pendampingan.
Bahkan, BPOM juga mendampingi dari inspeksi pelaksanaan uji klinik.
BACA JUGA: Dua Potensi Vaksin COVID-19 Miliki Efektivitas di Atas 90 Persen, Apa Selanjutnya?
Hindra menerangkan, uji klinik merupakan tahapan penting guna mendapatkan data efektivitas dan keamanan yang valid untuk mendukung proses registrasi vaksin Covid-19.
Sejauh ini tidak ditemukan adanya reaksi yang berlebihan atau serious adverse event selama menjalankan uji klinik fase III di Unpad.
“Perkembangan vaksin Covid-19 sudah masuk uji fase III, tinggal menunggu laporan dari Brazil, China, Turki, dan Indonesia. Setelah laporan selesai barulah keluar izin edarnya."
"Jadi untuk mendeteksi dan mengkaji apakah ada kaitannya imunisasi dengan KIPI ada ilmunya, yang disebut Farmakovigilans."
"Tujuannya untuk meningkatkan keamanan, meyakinkan masyarakat, sehingga memberikan pelayanan yang aman bagi pasien dan memberikan informasi terpercaya," kata Hindra.
Lebih lanjut, ia menerangkan semua fase uji klinik vaksin memiliki syarat yang harus dipenuhi.
Dalam keadaan khusus seperti pandemi COVID-19, kata dia, proses pembuatan vaksin memang dipercepat.
Namun tanpa menghilangkan syarat-syarat yang diperlukan membuat vaksin.
"Masyarakat sebenarnya masih miskonsepsi, artinya pengertian masyarakat belum mantap karena mendapat keterangan dari orang-orang yang kurang kompeten atau bukan bidangnya," lanjut Hindra.
Dalam kesempatan ini, ia tidak memungkiri beragam mitos berkembang terkait vaksin COVID-19. Misalnya menyebut vaksin mengandung zat berbahaya.
"Hal ini tidak benar, karena tentu saja kandungan vaksin sudah diuji sejak praklinik. Sebenarnya vaksin tidak berbahaya tetapi perlu diingat vaksin itu produk biologis."
"Oleh sebab itu, vaksin bisa menyebabkan nyeri, kemerahan, dan pembengkakan yang merupakan reaksi alamiah dari vaksin. Jadi memang harus berhati-hati mengenai mitos-mitos terkait KIPI ini," tutur pria bergelar profesor itu.
Dia pun menjelaskan, jika ditemukan efek setelah divaksin, masyarakat sebenarnya bisa melaporkan ke Komnas KIPI melalui situs www.keamananvaksin.kemkes.go.id.
Komnas KIPI sendiri merupakan Lembaga yang terbentuk sejak 2007 yang beranggotakan para ahli independen, dengan kompetensi dan keilmuan terkait vaksinologi.
Menjangkau wilayah Indonesia yang luas telah terbentuk Komite Daerah KIPI di 34 Provinsi.
“Yakinlah keamanan vaksin itu dipantau sejak awal. Bahkan, setelah vaksin diregistrasi, tetap dipantau dan dikaji keamanannya," ujar Prof. Hindra.
Prof. Hindra meyakini selain Covid-19, masyarakat saat ini dihadapkan pula dengan informasi keliru yang tidak disikapi dengan bijak.
“Musuh kita cuma satu yaitu virus. Musuh kita adalah musuh bersama, untuk melawannya kita harus bekerja sama agar upaya-upaya jadi efektif dan tidak mementingkan diri sendiri."
"Cobalah bijak bersosial media dengan memilah-milah mana yang bisa dibagikan dan dipertanggungjawabkan, mana yang harusnya hapus," tandas Hindra. (ast/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan