Airlangga Sebut Pidato Bu Mega Merakyat dan Memuat Aspek yang Selama Ini Dilupakan Bangsa

Jumat, 13 Januari 2023 – 12:16 WIB
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri berpidato pada perayaan HUT ke-50 PDIP di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (10/1). Foto : Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Dosen ilmu politik Universitas Airlangga (Unair) Airlangga Pribadi turut memaknai pidato Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam acara ulang tahun partai tersebut.

Dia menilai Megawati memberikan pesan-pesan politik yang kuat, padat, merakyat, dan bermakna mendalam bagi penguatan kualitas politik demokrasi di Indonesia.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Bu Megawati Beri Bocoran Capres 2024 PDIP, Risma Menangis, Ada Kabar Terbaru?

Pesan yang berakar mendalam pada tradisi politik progresif para pendiri bangsa, khususnya Soekarno.

"Pesan utamanya kalau ditafsirkan bahwa partai politik bukan sekadar mobil rental bagi calon eksekutif maupun legislatif untuk menapak pada kursi kekuasaan. Namun partai adalah penyambung lidah rakyat Indonesia atau partai seharusnya memiliki bonding atau ikatan yang kuat dengan rakyat," ujar Airlangga saat dihubungi, Jumat (13/1).

BACA JUGA: Megawati Buka Suara Soal Capres 2024, Berasal dari Kader PDIP

Dia juga menilai pidato Megawati menggunakan bahasa merakyat seperti menjelaskan kalau salaman sudah sejiwa maka tidak terasa anyep.

Airlangga mengatakan sebagai manifestasi dari menyatunya interaksi rakyat dengan partai, maka politikus dalam lembaga politik baik eksekutif maupun legislatif memiliki tanggung jawab untuk mendampingi, mengontrol, bahkan memberikan koreksi dan teguran atas dasar garis ideologi yang disepakati dalam komitmen yang telah dibangun.

BACA JUGA: Megawati: Masih Banyak Rakyat Dalam Keadaan Papa dan Hina

"Pesan penting yang juga dikemukakan oleh Megawati bahwa partai adalah organisasi politik yang memiliki tujuan kolektif untuk menciptakan pemimpin yang organik dalam koneksi antara kebijakan pemerintah-garis ideologi-partai politik-aspirasi rakyat yang koheren dan tidak terputus," sebut Airlangga.

Airlangga juga menyampaikan Megawati menceritakan kembali tentang pentingnya membangun solidaritas dalam fase-fase awal perjuangan melawan otoritarianisme Soeharto.

Menurutnya, Megawati ingin mengingatkan kembali perjuangan yang diikat oleh organ politik, partai, dan aspirasi rakyat harus berpijak pada kedisiplinan.

Di sisi lain, tambah dia, Megawati bicara banyak pihak yang akan mendukungnya. Dia menganggap itu bukan seperti pembahasan yang ada di ruang publik bahwa dia narsis.

Namun, Megawati sedang mengkritik narsisme politik dengan bahasa yang satire. Bahwa politik itu soal substansi menjadikan ideologi sebagai arah jalan menerangi perjalanan bersama rakyat jembatan emas kemerdekaan, bukan gimik pencitraan.

Selain itu, Megawati mengingatkan pada Jokowi untuk konsisten dengan dua periode.

"Saya justru melihat inilah salah satu elemen kuat dalam pidato Megawati. Beliau memperlihatkan perhatian tulusnya kepada Jokowi bahwa pembatasan kekuasaan sebagai substansi demokrasi harus dipegang teguh, karena Jokowi adalah bagian dari PDI Perjuangan. Pemimpin Republik Indonesia yang lahir dari kawah candradimuka politik partai ini," sebutnya.

Ketulusan tersebut terlihat ketika Megawati mengingatkan pada pengalaman traumatik dalam hidupnya. Ketika ayah Megawati, Bung Karno dijebak Soeharto. Bung Karno dijatuhkan oleh orang-orang yang mengusung gagasan tersebut.

Pidato penting lainnya dari Megawati, lanjut Airlangga, ialah penekanan atas politik emansipasi kesetaraan laki-laki dan perempuan yang seharusnya menjadi lebih maju dalam demokrasi Indonesia.

Megawati mengungkapkan hal itu dengan mengutip buku Sukarno berjudul Sarinah serta menyebutkan perempuan-perempuan pahlawan pendahulu mulai dari Cut Nyak Dhien, Laksamana Malahayati sampai Ibu Supeni duta besar keliling Indonesia yang dilantik oleh Bung Karno.

Menurut Airlangga, pesan-pesan politik progresif ini terasa asing di saat politik lebih didominasi oleh hegemoni semangat individualisme,. Corak politik yang mengambang yang melihat tidak ada koneksi antara politik kekuasaan dan partai sebagai organ kolektif yang terlibat mendeterminasi proses politik yang berlangsung.

"Tidak heran apabila pandangan-pandangan yang muncul atas pidato tersebutlah yang sebetulnya dangkal dan tidak memahami tradisi politik ideologis yang menjadi bagian dari kehidupan politik di Indonesia dalam masa keemasan politiknya," kata dia. (tan/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sejak 2014 Pak Jokowi Terima Potongan Tumpeng Ultah PDIP, Dahulu Cium Tangan Bu Mega


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler