Akademisi IPB Nilai Pengamat Pro Impor Dukung Mafia Beras

Selasa, 30 Oktober 2018 – 13:48 WIB
Pengamat Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prima Gandhi. Foto: Humas Kementan

jpnn.com, BOGOR - Pengamat Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prima Gandhi mengatakan, saat ini sulit membedakan pengamat pertanian yang benar-benar murni memajukan pertanian dengan pengamat yang bermuatan titipan dari pelaku usaha impor atau pemburu rente. Ini terlihat dari beberapa pengamat yang menganjurkan impor di tengah Indonesia tahun 2018 surplus beras 2,85 juta ton. Data ini jelas-jelas dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).

"kita harus berfikir jernih menyikapi rilis data BPS surplus 2,85 juta ton beras saat ini. Jangan gegabah itu pengamat dari INDEF, dan CIPS bilang stok tipis sehingga perlu impor, kok dangkal sekali,” demikian kata pria yang akrab disapa Gandhi di Bogor, Rabu (30/10).

BACA JUGA: Akselarasi Ekspor, Mentan Percepat Pengurusan Izin

Dia menjelaskan, stok beras nasional tidak hanya dari surplus 2,85 juta ton, tetapi juga dari hingga saat ini stok Bulog sebesar 2,4 juta ton. Stok ini tentunya cukup aman untuk pasok hingga 10 bulan ke depan. Bahkan jika mengacu Survei Kajian Cadangan Beras (SKCB) 2015 yang dilakukan BPS, menyebutkan di tanggal 31 Maret 2015 terdapat stock beras 7,97 juta ton, lalu 31 Juni stock 10,02 juta ton dan 30 September 2015 stock 8,85 juta ton.

Dengan begitu, sambungnya, stok sangat tinggi berkisar 7,9 hingga 10 juta ton. Bahkan beberapa kali Sucofindo survei sejak 2007 hingga 2012, stock beras berkisar 6 hingga 9 juta ton beras. “Jadi, stok beras cukup. Tidak perlu impor. Jangan sampai pengamat berstatement karena ada pesanan dari mafia. Ini namanya menghianati petani dan negara. Tidak cinta tanah air,” ujarnya.

BACA JUGA: Mentan: Upsus SIWAB Berhasil Tingkatkan Populasi Sapi

“Ini sekarang memang sulit membedakan antara pengamat murni dengan pro impor. Pengamat pro impor biasanya berdalih data, kondisi harga, dan faktor lain sehingga menganjurkan impor yang sejatinya akan menyengsarakan rakyat,” tambahnya.

Gandhi menyebutkan, pengamat murni tanpa kepentingan itu tentunya menganjurkan ekspor guna meraih devisa dan mensejahterakan rakyat. Sebab sangat memahami betul bahwa impor hanya dinikmati segelintir orang yang diragukan merah putihnya. "Coba tengok dan perhatikan data stock beras hasil survei BPS tahun 2015, menyatakan terdapat stock tersebar di rumahtangga, penggilingan, pedagang, hotel, restoran, katering, gudang dan di BULOG itu berkisar 8 hingga 10 juta ton. Ini juga data survei BPS sebagai pembanding dalam analisis, cadangan beras cukup,” ungkapnya.

BACA JUGA: Mentan Amran Dampingi Jokowi Lepas Kirab Santri di Sidoarjo

Oleh karena itu, Gandhi juga meminta para pengamat jangan manas-manasin kondisi beras yang saat ini sudah aman dan stabil. Sebaiknya, memberikan gagasan atau terobosan dalam meningkatkan produksi dan ekspor sehingga minat petani semakin meningkat dalam menghasilkan pangan yang berkualitas. Buktinya Indonesia sudah ekspor beras khusus, beras premium, beras organik dan lainnya, ujarnya

“Jangan membuat keruh pada air yang tenang. Cek wilayah Sumatera dan Kalimantan serta sebagian Jawa Barat sudah turun hujan artinya tanam padi tinggi dan Januari 2019 akan di panen,” ujarnya.

Berdasarkan data BMKG pada bulan November 2018 hujan sudah mulai merata. Artinya, sebut Gandi, musim tanam sangat luas dan akan panen raya dimulai pada akhir Januari hingga April 2019. “Dengan demikian akan ada penambahan stok beras lebih banyak lagi,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua PBNU sekaligus guru besar Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM) Mochammad Maksum Machfoedz mengatakan situasi produksi cenderung surplus dan besaran konsumsi rutin normal, namun di lapangan justru harga beras melonjak.

“Ini ada semacam tekanan politik yang dibuat agar impor beras dilakukan. Ada yang memanfaatkan situasi. Jangan sampai negara kalah dengan para pemburu rente. Harus bisa ditangkap dan diberi sanksi,” katanya.

Sebelumnya Khudori, pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) mengatakan tingginya disparitas harga beras picu impor. Importir menghembuskan gejolak harga beras dalam negeri dan sejumlah faktor lain turut memicu gejolak harga tiap tahunnya.

“Penyelundupan beras untuk memanfaatkan disparitas harga masih terjadi dan ditemukan kasusnya di Batam, namun volumenya kini tidak signifikan. Disparitas harga ini perlu dihilangkan untuk meminimalkan peluang penyalahgunaan pihak tertentu,” katanya.

Perlu diketahui juga, beberapa pihak waktu kemarin, seperti pengamat Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyoroti surplus yang tipis sehingga perlu impor beras pada awal 2019. Hal ini diperkuat dengan temannya di Indef Rusli Abdullah yang mengatakan perlu pembenahan tata niaga dan mendata titik titik stock.

Hal yang sama pengamat Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilham juga mengatakan perlunya impor beras pada awal 2019.(jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mentan Lepas Ekspor Benih Kangkung dan Jagung ke Tiongkok


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler