jpnn.com, JAKARTA - Akademisi mendorong pemerintah untuk memprioritaskan pembenahan regulasi hukum mengenai pelibatan militer sebelum mengesahkan draf peraturan presiden (perpres) yang mengatur kewenangan TNI dalam pemberantasan terorisme.
Hal itu disampaikan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univeritas Airlangga (Unair) Airlangga Pribadi.
BACA JUGA: MPR: Keteladanan Dua Prajurit TNI Patut Dicontoh
Dia mengatakan draf perpres yang mengatur kewenangan TNI dalam pemberantasan terorisme itu berpotensi mengingkari dan bertabrakan dengan landasan konstitusi yang telah ada.
Dia pun menjelaskan, sebelum membuat rumusan kewenangan TNI di dalam perpres tersebut, yang harus dirapikan terdahulu adalah regulasi hukum soal apa saja yang termasuk tindak terorisme, teritori tindak pidana maupun mekanisme pelibatannya.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Fadli Zon vs Boni, Rumor Pemakzulan, Jangan Pakai AC Terus
“TNI bukanlah aparat penegak hukum melainkan adalah aparat pertahanan negara. Kita harus sepakat dulu terkait hal ini,” kata Airlangga pada Minggu (7/6).
Airlangga juga mengingatkan akan ada ancaman baru apabila draf itu akhrinya disahkan. “Hati-hati, ini menjadi ancaman baru bagi pengantar masuknya militer dalam supremasi sipil, serta melanggar HAM,” tambahnya.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: KPK Menyoroti Anies Baswedan, Ridwan Kamil Sedih, Rupiah Kalahkan Dolar AS
Airlangga menegaskan bahwa prinsipnya leading sector dari penanganan terorisme adalah aparat penegak hukum dan keamanan negara, dalam hal ini melalui BNPT dan Polri.
“Relasi hukum ini dulu yang harus diselesaikan dan semua pihak harus tahu dan paham,” imbuhnya.
Sebelumnnya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Ali Safa’at dalam diskusi virtual, Jumat (5/6) menyampaikan, draf perpres yang telah diserahkan pemerintah ke DPR awal Mei 2020 lalu itu bernapas UU TNI dibandingkan pelaksanaaan UU pemberantasan terorisme.
Pengungkapan jaringan teroris diingatkannya akan menjadi problem tersendiri karena metode yang akan digunakan menggunakan parameter perang.
Dia menyebutkan, ketika penindakan dilakukan dengan pendekatan perang justru akan menimbulkan spiral kekerasan.
Menurutnya, TNI yang disiapkan untuk perang tentu mempunyai parameter berbeda dengan penegakan hukum.
Semua ini akan mengalami masalah, utamanya dalam hal pengungkapan jaringan dan pembuktian saat persidangan.
“Karena militer dilatih dan dipersiapkan untuk perang maka penanganan teroris jika Perpres disahkan, metodenya akan menggunakan metode perang. Pengungkapan jaringan terorisme dan pembuktian pelaku menjadi problem tersendiri,” kata Safa’at. (cuy/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan