Akademisi Turki Tak Boleh ke Luar Negeri

Kamis, 21 Juli 2016 – 09:56 WIB
Para pendukung Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. FOTO: AFP

jpnn.com - ISTANBUL - Dunia pendidikan Turki seolah berantakan pascakudeta. Setelah memecat 1.577 dekan, giliran 21 ribu guru yang dicabut izin mengajarnya. Rektor dari empat universitas juga didepak dari jabatannya. Yakni, rektor dari universitas teknik di Gazi, Dicle, Yalova, dan Yildiz. 

Tak hanya itu, sebanyak 15 ribu pejabat di Kementerian Pendidikan pun harus kehilangan pekerjaan. 

BACA JUGA: Nenek 71 Tahun Ini Nikahi ABG, Urusan Ranjang Masih Tetap Garang

Sudah cukup? Belum. Para akademisi Turki dilarang bepergian ke luar negeri untuk sementara waktu. Mereka yang di luar negeri untuk urusan pekerjaan ataupun misi pembelajaran harus segera kembali. Kebijakan larangan ke luar negeri itu hanya berlangsung sementara hingga situasi tenang. Tujuannya, mencegah orang yang terlibat kudeta di lingkungan pendidikan melarikan diri.

Dewan Pendidikan Tinggi Turki menegaskan bahwa penggantian orang-orang yang dipecat di sektor pendidikan itu segera dilakukan. Mereka juga meminta semua rektor untuk mencari bawahannya yang dinilai terlibat Organisasi Teroris Fethullah. 

BACA JUGA: Tragis! Remaja 18 Tahun Ditembak Mati Gara-gara Memburu Pokemon

Bersih-bersih tersebut dilaksanakan karena pemerintah yakin banyak pendukung ulama Fethullah Gulen di sektor pendidikan. Ulama 75 tahun yang dituding sebagai dalang di balik kudeta itu memang memiliki jaringan yang sangat luas di sektor pendidikan.

Pemecatan dan penangkapan di sektor militer juga masih terus berlanjut. Kemarin 900 polisi kembali dipecat. Seluruhnya merupakan petugas kepolisian di Ankara. Dari 360 jenderal di tubuh militer Turki, 99 di antaranya ditangkap. Jika ditotal, kini sudah ada lebih dari 50 ribu orang di berbagai sektor yang ditangkap pemerintah Turki.

BACA JUGA: Ibu Bunuh Empat Bayinya, Cekik, Sumpal dengan Handuk

Tindakan Turki itu langsung menuai ancaman dari berbagai pihak. ''Kami melihat tindakan keras yang di luar batas ter­jadi di Turki saat ini,'' tegas peneliti Amnesty International di Turki Andrew Gardner. 

Dia memperingatkan, tindakan pemerintah Turki itu mengungkapkan bahwa acara bersih-bersih tersebut, tampaknya, bakal merembet pada media dan jurnalis. Termasuk di antaranya pengekangan terhadap orang-orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Amnesty International mendesak Ankara agar menaati hukum dan menghargai kebebasan berekspresi.

Di sisi lain, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan akhirnya kembali ke Ankara untuk kali pertama setelah upaya kudeta Jumat (15/7). Dia memimpin rapat kabinet beserta Badan Keamanan Nasional. 

Dengan kata lain, seluruh petinggi jajaran pemerintahan dan angkatan bersenjata hadir. Mereka akan membahas kebijakan yang bakal diambil pascakudeta.

Pemerintah Turki juga memblokir akses ke WikiLeaks. Itu dilakukan setelah website tersebut mengunggah sekitar 300 ribu e-mail yang dikirimkan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) mulai 2000 sampai 6 Juli 2016. Partai AKP dipimpin Erdogan. 

''Dokumen ini diperoleh sebelum kudeta dan tanggal publikasi dimajukan sebagai respons dari pembersihan yang dilakukan pemerintah pascakudeta,'' tulis WikiLeaks. Pemblokiran dilakukan beberapa jam sebelum pertemuan yang dipimpin Erdogan di atas. Belum diketahui isi e-mail-e-mail tersebut. (AFP/Reuters/BBC/sha/c15/any) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kasihan, Gadis 9 Tahun Bersin 8.000 Kali Sehari, Tolonglah Dia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler