jpnn.com, JAKARTA - Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menyoroti tindakan sejumlah anggota Organisasi Kemasyarakatan Pemuda Pancasila (Ormas PP) yang mengeroyok AKBP Darmawan Karosekali, Kamis (25/11).
Dalam analisisnya, Reza Indragiri mengatakan polisi dalam kapasitas sebagai penegak hukum sebetulnya 'lumrah' jika mendapat serangan.
BACA JUGA: Ini Identitas Anggota Pemuda Pancasila yang Menghajar AKBP Darmawan, Ada Peluru Senjata Api
"Lumrah, dalam pengertian bahwa karena secara normatif mereka bekerja dalam rangka menciptakan ketertiban dan kepastian hukum, maka pihak-pihak yang tidak tertib dan tidak taat hukum tentu akan melawan ketika mereka menjadi sasaran kerja polisi tersebut," kata Reza Indragiri kepada JPNN.com, Jumat (26/11).
Dengan kata lain, Reza menyebut mereka yang melawan atau bahkan menyerang polisi sangat mungkin sebelumnya adalah pihak yang tengah merusak ketertiban ataupun melakukan pelanggaran hukum.
BACA JUGA: Kombes Hengki Geram, Sambodo Menunjuk Mobil Komando Pemuda Pancasila
"Makin eksplosif jika si penyerang berada di bawah pengaruh NAPZA. Dalam situasi semacam itu, dianiaya merupakan salah satu risiko tugas yang bisa terjadi sewaktu-waktu," ujar pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK/PTIK) itu.
Reza menilai untuk kepentingan pembenahan SDM, perlu dicari tahu apa saja kondisi sesaat sebelum terjadinya penyerangan terhadap AKBP Darmawan.
BACA JUGA: Ini Lho Tampang Pengusaha Kuliner yang Menyetubuhi Karyawannya di Banyuanyar Solo
"Adakah tindak-tanduk ataupun tutur kata personel yang menyinggung pihak penyerang?" lanjut lulusan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Selain itu, perlu dicari tahu seberapa jauh sikap personel pada situasi tertentu, alih-alih menenangkan, justru mengeskalasi kemungkinan benturan. Termasuk, kemungkinan personel tidak sensitif dalam mengukur tingkat kekritisan yang sedang berlangsung di lapangan.
"Misalnya, keadaan sesungguhnya sudah semakin genting, tetapi personel bersangkutan tetap menerapkan pola penanganan yang biasa-biasa saja," ucap Reza.
Bila itu yang terjadi dalam pengamanan demo Pemuda Pancasila itu, Reza menyebut penyerangan terhadap polisi merupakan buah dari cara kerja yang keliru kalkulasi, tidak prosedural ataupun tidak humanis dari individu personel polisi itu sendiri.
"Kekerasan terhadap polisi tidak disikapi cuma dengan bingkai hitam putih, melainkan lebih sebagai produk interaksi. Yaitu, interaksi antara personel polisi dan pihak yang sedang dihadapinya," tutur pria asal Rengat, Indragiri Hulu, Riau.
Analisis lain yang dikemukakan Reza, jangan-jangan penganiayaan dilakukan karena si penyerang secara mendasar sudah punya sentimen negatif terhadap polisi.
BACA JUGA: Detik-Detik AKBP Dermawan Dikeroyok Massa Pemuda Pancasila, Begini Kondisinya Kini
"Dengan kata lain, terlepas apa pun situasinya, si penyerang sudah punya mindset pokoknya setiap polisi, siapa pun orangnya, adalah tak ada baiknya, adalah musuhnya sehingga adalah sah-sah saja dianiaya," ucap Reza.
Peraih gelar MCrim (Forpsych-master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne Australia itu menyebut penyerangan terhadap polisi, jika dilatari oleh sikap batin seperti itu, tergolong paling berat.
Di beberapa negara, kata Reza, penyerangan dengan latar sedemikian rupa bahkan digolongkan sebagai hate crime dan itu sangat serius. "Sekelas dengan hate crime terhadap, misalnya, orang berwajah Timur Tengah, berpenampilan religius, dan semacamnya," ujarnya.
BACA JUGA: Ibu Hamil Mengidam Minta Dilayani, Bripka Prengki Tak Kuasa Menolak
Dengan anallisis yang demikian, Reza berpendapat andai si penyerang polisi kelak dihukum, penilaian tentang bobot kekerasan terhadap polisi tidak sebatas ditentukan oleh keparahan cedera yang dialami personel polisi.
"Lebih esensial, penilaian ditentukan oleh keadaan yang menyebabkan peristiwa penyerangan itu: situasional ataukah cara pandang radikal terhadap profesi dan jatidiri polisi," pungkas Reza Indragiri. (fat/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam