jpnn.com, JAKARTA - Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri) Akmal Malik mengatakan perlunya dibangun suatu mekanisme pilkada multikultural yang tidak seragam di setiap daerah.
Pilkada multikultural yang dimaksud Akmal adalah pemilihan yang disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing atau asymetrical election. Dengan demikian, keseimbangan aspek manajerial dan politik dalam pelaksanaan Pilkada dapat terwujud.
BACA JUGA: KPK Soroti Bantuan Sapi Gubernur NTB Jelang Pilkada
Pandangan ini sebelumnya dikaji secara mendalam oleh Akmal dalam disertasi doktoralnya sebagai mahasiswa S3 Ilmu Administrasi Publik, Program Doktor Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang.
"Pelaksanaan Pilkada langsung dan serentak di Indonesia merupakan salah satu bentuk administrasi publik yang penting dalam rekrutmen kepemimpinan lokal di Indonesia," ujar Akmal dalam keterangannya, Selasa (8/12).
BACA JUGA: Bukhori Yusuf Beber Kejanggalan Terkait Tewasnya 6 Laskar FPI
Akmal lantas mengutip pendapat seorang pakar bernama Rosenbloom, yang menyebut ada tiga pendekatan dapat dipakai untuk melihat administrasi publik dalam Pilkada. Yakni, manajerial, politik dan hukum.
Namun, pendekatan manajerial dan politik lebih sering menjadi bahan sorotan publik. Walaupun akhirnya tetap harus mengikutsertakan pendekatan hukum dalam pembahasannya.
BACA JUGA: 6 Pendukung Habib Rizieq Tewas, FPI Kemungkinan Tempuh 2 Langkah Besar
"Sejarah pelaksanaan pilkada sebagai administrasi publik di Indonesia belum pernah menunjukkan terjadinya keseimbangan, antara pendekatan manajerial dan politik secara ideal," jelas Akmal.
Dia mengatakan, keseimbangan antara pendekatan manajerial dan politik secara ideal, selalu menunjukan fakta disparitas yang cukup tinggi di antara keduanya.
Disparitas itu mulai dari hadirnya UU Nomor 1/1945 tentang Komite Nasional Daerah, di mana lebih menonjolkan pendekatan manajerial, hingga hadirnya UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada yang lebih menekankan pendekatan politik.
Disparitas antara pendekatan manajerial dan politik ini, membawa Pilkada di Indonesia pada posisi kinerja yang belum optimal.
Berangkat dari banyaknya permasalahan, ditambah isu-isu pelaksanaan pilkada, Akmal menilai perlu digali formulasi Pilkada yang tepat.
Menurutnya, Pilkada langsung dan serentak tidak hanya penting sukses dilaksanakan, tetapi juga menghasilkan kepala daerah yang berkualitas.
"Saya dalam menganalisis ini menggunakan pendekatan teori Rosenbloom yang melihat suatu kebijakan publik dari aspek politik, manajerial dan hukum.
Saya menganalisis bagaimana pelaksanaan Pilkada serentak dan langsung di Indonesia. Namun saya hanya berfokus pada aspek politik dan manajerial saja," tutur Akmal.
Dia menerangkan bahwa kajiannya diawali dengan melakukan evaluasi terhadap regulasi tentang Pilkada yang pernah ada.
Pada Orde Baru dengan Undang-Undang Nomor 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, aspek manajerial lebih tinggi dibandingkan aspek politik. Pelaksanaan pemilihan dilakukan melalui DPRD, sehingga lebih efektif, efisien dan ekonomis.
Kelemahannya, aspek partisipasi dan keterwakilan politik dari masyarakat relatif kurang terakomodasi.
Pada masa reformasi saat diberlakukan UU Nomor 22/1999 tentang Pemda, aspek politik tinggi. Namun, dalam praktiknya aspek manajerial juga tinggi.
Hal itu menurutnya ditandai banyaknya partai politik yang berkembang atau tingginya aspek politik. Sedangkan pemilihan tetap dilaksanakan oleh DPRD, atau tingginya aspek manajerial.
"Di sini DPRD tidak bisa berperan hanya mewakili partai politik saja tetapi harus mendengarkan suara masyarakat," katanya.
Kemudian pada masa pascareformasi, Pilkada dilaksanakan mendasarkan pada UU Nomor 32/2004 tentang Pemda, yaitu melalui pemilihan langsung.
Pendekatan ini memiliki aspek politik, karena masyarakat bisa langsung memilih pemimpinnya. Sehingga legitimasi politiknya sangat kuat. Namun dari sisi manajerial, Pilkada ini berbiaya sangat tinggi dan dianggap kurang efisien.
Merespons hal tersebut, kata Akmal, UU Nomor 32/2004 direvisi dengan UU Nomor 22/2014, di mana aspek manajerial menjadi pertimbangan utama.
Namun, UU Nomor 22/2014 dicabut dengan Perppu Nomor 1/2014 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 1/2015 dan diubah menjadi UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada.
Menurut Akmal, berdasarkan UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada, maka pemilihan dilaksanakan secara langsung. Sehingga legitimasi politik tinggi, karena setiap masyarakat dapat menyalurkan hak politiknya secara langsung. Selain itu, keserentakan membuat biaya penyelenggaraan dapat lebih efisien.
Perubahan UU ini mengarah pada keseimbangan antara aspek politik dan aspek manajerial, di mana hak-hak politik dari warga negara tidak terganggu. Sementara, efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan juga terjaga melalui mekanisme keserentakan Pilkada.
"Terhadap upaya untuk mencari format Pilkada yang ideal, yang seimbang antara aspek manajerial dan politik, saya coba untuk melakukan analisis dari berbagai variabel.
Dari sisi struktur organisasi, untuk mencapai keseimbangan, maka struktur organisasi pelaksana di setiap daerah disesuaikan dengan kebutuhan masing masing wilayah," ucap Akmal.
Akmal kemudian menyimpulkan, kepercayaan dan kepuasan masyarakat menjadi kunci sukses Pilkada langsung dan serentak. Utamanya pada saat kondisi pandemi seperti sekarang ini. Selain itu, keseimbangan aspek manajerial dan politik dalam pelaksanaan Pilkada juga penting.(gir/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang