Aktivis Antikorupsi Uji Materi UU Pemda

MK Diminta Tutup Celah Pemecatan Kepala Daerah Korup

Selasa, 24 Juli 2012 – 06:12 WIB

JAKARTA - Mekanisme pemecatan kepala daerah yang menjadi terpidana korupsi sebagaimana diatur UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah masih menyimpan celah. Celah itulah yang berpotensi dimanfaatkan kepala daerah yang tidak mau melepaskan jabatannya begitu saja.

Untuk "menutup" celah tersebut, sejumlah pegiat antikorupsi yang berhimpun dalam Tim Advokasi untuk Pemerintahan Daerah yang Bersih meminta penegasan status konstitusional terhadap pasal 30 UU Pemerintah Daerah. "Ketentuan itu sekarang  masih multitafsir dan dapat menguntungkan koruptor yang berstatus kepala daerah," kata Ketua Tim Hukum Alvon Kunia Palma kemarin (23/7). Tim advokasi tersebut terdiri atas  ICW, YLBHI, PUKAT UGM, dan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Sumbar.

Alvon menuturkan, pasal 30 UU Pemda mengatur bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usul DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih berdasar putusan pengadilan.

Dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan (tetap, Red) oleh presiden tanpa melalui usul DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana berdasar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Tapi, belum lama ini terjadi fenomena "perlawanan" oleh Agusrin Najamuddin, mantan gubernur Bengkulu dan terpidana kasus korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), saat dirinya akan dipecat presiden. Proses peralihan kepala daerah dari Agusrin kepada penggantinya gagal akibat adanya putusan sela dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Dalam gugatan terhadap presiden, Agusrin bersama kuasa hukumnya mendalilkan bahwa pemberhentian terhadap dirinya tidak sah. Mereka beralasan, Agusrin didakwa dengan pasal 2 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman pidana penjaranya paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun. Sedangkan pasal 30 UU Pemda mensyaratkan ancaman pidana penjara minimal lima tahun.

"Penafsiran Agusrin terhadap pasal 30 UU Pemda itu sangat berbahaya bagi upaya pemberantasan korupsi dan mengganggu jalannya roda pemerintahan daerah. Jika  dibiarkan, itu bukan hanya menguntungkan Agusrin, tapi semua koruptor kepala daerah," kata Alvon yang juga koordinator YLBHI tersebut.

Menurut Alvon, harus ada penegasan status konstitusional dari MK mengenai pasal 30 UU Pemda itu. "Pada prinsipnya, penyebutan minimal lima tahun itu masuk dalam rentang ancaman pidana 4-20 tahun. Jadi, tidak perlu dipertentangkan," tegasnya.

Alvon mengingatkan, jumlah mantan kepala daerah dan kepala daerah aktif yang terjerat kasus korupsi terus bertambah dari waktu ke waktu. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) awal Januari 2011, kata Alvon, memaparkan bahwa 155 kepala daerah tersangkut masalah korupsi. Bahkan, 17 di antara mereka adalah gubernur. "Setiap pekan ada kepala daerah yang diproses dalam kasus korupsi," jelasnya.

Data itu, lanjut Alvon, tidak jauh berbeda dengan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hingga Maret 2011, sudah 175 kepala daerah, terdiri atas 17 gubernur dan 158 bupati atau wali kota" menjalani pemeriksaan di lembaga antikorupsi tersebut. "Jumlah keseluruhan bisa jadi lebih besar kalau ditambah kasus korupsi kepala daerah yang ditangani kepolisian dan kejaksaan," katanya.

Alvon merujuk Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat bahwa selama sepuluh tahun terakhir terdapat sedikitnya 203 kepala daerah yang diperiksa dalam kasus korupsi, baik dalam kapasitas sebagai saksi maupun tersangka. "Sebagian di antara mereka sudah diproses penegak hukum dan dihukum bersalah oleh pengadilan serta mendekam di penjara," bebernya. (pri/c3/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Petugas Lapas Terlibat Narkoba Harus Dihukum Berat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler