ALAMAK! Makan Sahur ala Kadarnya, Gelap Gulita Pula

Rabu, 08 Juni 2016 – 11:57 WIB
Warga korban gelombang pasang pesisir pantai Ampenan, Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) berada di tenda pengungsian dengan segala keterbatasan. FOTO: Lombok Post/JPNN.com

jpnn.com - PUASA kali ini menggoreskan cerita tersendiri bagi para pengungsi korban gelombang pasang pesisir pantai Ampenan, Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka terpaksa harus berpuasa di pengungsian dengan segala keterbatasan.

HAMDANI WATHONI, Mataram

BACA JUGA: Eka Ramdhani Suka Kolak, Kangen Bala-bala

Tanah di pesisir pantai Bagek Kembar masih terlihat basah. Itu disebabkan gelombang pasang masih melanda wilayah ini hingga kemarin malam. Sisa air pantai yang membasahi tanah masih terlihat.

Di salah satu sudut lokasi, beberapa warga masih sibuk mengeluarkan pasir dari dalam rumahnya. Sementara para ibu rumah tangga nampak sedang duduk sambil memangku putra-putrinya di dalam tenda pengungsian milik Tagana Disosnakertrans Mataram.

BACA JUGA: Pokoknya, Sebelum Lebaran Daging Harus Rp 80 Ribu per Kg

Ya, mereka ini adalah warga asli Kota Mataram. Warga yang dilahirkan dan tumbuh besar di kota yang kini sedang berpacu menuju Kota Metropolitan.

Kemajuan Kota Mataram yang begitu pesat tak bisa disangsikan. Nama Mataram kini sudah kesohor di seluruh Nusantara bahkan Mancanegara.

BACA JUGA: Pengusaha Ini Tiba-tiba Ucapkan Kalimat Syahadat, Istri Nasri Mendukung

Orang kini berbondong-bondong ingin datang ke Mataram. Entah dengan tujuan berwisata atau untuk berinvestasi. Namun di balik kemegahan Kota Mataram, terdapat sejumlah warga yang dari tahun ke tahun tetap merasakan hal yang sama. Berada dalam garis kemiskinan, keterbatasan, keterbelakangan dan terabaikan.

Warga Bagek Kembar adalah salah satu dari sekian banyak lingkungan yang belum bisa merasakan manisnya kemajuan Kota Mataram. Setiap tahun mereka selalu ditimpa bencana gelombang pasang. Meski demikian, mereka enggan meninggalkan lokasi tempat tinggal mereka karena tak tahu harus pindah ke mana.

Risiko apapun tetap dihadapi. Termasuk rumah yang porak-poranda karena diterpa gelombang.

“Kami nggak punya rumah atau tanah. Mau pindah ke mana? Kami juga hanya bisa melaut mencari ikan. Jadi kami tetap bertahan tinggal di sini,” kata Putradi, salah seorang nelayan seperti dilansir Lombok Post (JPNN Group).

Ironis memang, mendengar pengakuan warga asli Mataram yang tidak punya tanah di tanah kelahirannya. Bahkan, lebih dari itu dengan kondisi gelombang yang masih cukup besar, warga sudah beberapa hari kehilangan pekerjaan.

Para nelayan ini tidak bisa melaut. Mereka pun harus diungsikan tidur di tenda karena rumah mereka tidak memungkinkan untuk ditempati.

Akibatnya, hari pertama puasa kemarin, sejumlah keluarga di Bagek Kembar terpaksa menjalankan semua aktivitasnya di tenda pengungsian. Mulai dari tidur hingga makan sahur.

“Ombak tadi malam besar sekali. Dari jam 10 malam sampai waktu sahur itu kami juga nggak bisa tenang tidur,” tutur Mahni, salah seorang warga yang mengungsi.

Di tengah ombak besar, ia bersama ibu rumah tangga lainnya harus mempersiapkan menu sahur untuk keluarga mereka. Keterbatasan sarana penerangan membuat mereka mau tidak mau harus bisa memasak dan makan sahur dalam kondisi gelap gulita. Hanya berbekal senter kecil, Mahni dan warga lainnya menyantap menu ala kadarnya untuk sahur.

“Hanya ada sayur komak dan kacang panjang jadi lauk santapan sahur anak-anak. Nggak ada ikan atau yang lain. Tapi kami bersyukur masih ada simpanan beras hasil berutang. Nggak tahu besok kalau beras ini habis,” ungkap Mahni.

Para ibu rumah tangga ini juga bersyukur anak-anak mereka kini libur sekolah sehingga tidak terlalu pusing memikirkan belanja mereka di sekolah.

Puluhan kepala keluarga kini mengungsi di tenda yang disiapkan Tagana. Satu tenda berukuran cukup besar sedangkan dua lainnya berukuran sedang. Di tenda yang berukuran sedang, diisi oleh empat kepala keluarga. Di sana mereka bersama menjalankan semua aktivitasnya. Mulai dari memasak, tidur hingga makan bersama.

Sementara para lelaki yang menjadi kepala keluarga berjaga-jaga di luar. Tidak ada barang berharga milik warga yang ada di dalam tenda. Hanya beberapa perabotan rumah tangga seperti piring, wajan, gelas dan kompor gas menjadi barang berharga milik warga. Sehingga, tak ada hiburan yang bisa mereka nikmati sambil mengisi kekosongan.

Sudah sekitar setengah bulan warga menjalani hari tanpa aktivitas. Mereka hanya duduk berdiam diri meratapi nasib tempat tinggal mereka diporak-porandakan gelombang hampir setiap malam.

“Kalau dulu biasa hanya empat hari, ini sudah dua minggu lebih gelombangnya masih besar,” aku Mukni.

Kini, warga pun harus dipusingkan dengan urusan berbuka puasa. Pasalnya, untuk menu berbuka, mereka masih belum tahu bisa memasak lauk seperti apa. Yang terpenting bagi mereka, keluarganya bisa menghilangkan haus dan dahaga setelah seharian menjalankan ibadah puasa.

“Ya mau gimana lagi. Apa yang bisa di makan itu kita makan sama-sama,” jelas para ibu rumah tangga yang tinggal di pengungsian ini kompak.

Sementara anak-anak mereka nampak asyik bermain sambil tertawa seolah tak peduli dengan nasib malang yang menimpa mereka.

“Pengin cepet balik ke rumah (Yang ada di pinggir pantai, Red). Pengin bisa tidur di sana,” kata Aulia, salah seorang bocah kelas 3 SD 48 Ampenan.(JPG/lombok post/r6/fri)

BACA ARTIKEL LAINNYA... RD Tambah Ibadah Sunnah dan Waktu Baca Alquran


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler