APA yang ada di benak Anda jika mendengar kata Afrika? Bisa jadi yang pertama terlintas ialah sebuah benua penuh kekerasan. Tidak berlebihan. Afrika memang masih identik dengan berbagai hal berbau kejahatan. Perampokan, pembunuhan, pemerkosaan maupun tindak kekerasan lain menjadi santapan sehari-hari. Afrika Selatan (Afsel), misalnya. Survey yang dilakukan United Nations Office on Drugs and Crime dalam rentang 1998-2000 menyatakan bahwa Afsel, dari 60 negara, menduduki posisi pertama untuk pemerkosaan dan urutan kedua untuk pembunuhan.
Keadaan tersebut membuat banyak pihak bahu membahu untuk mengentaskan masalah itu. Salah satu caranya ialah dengan mengintensifkan olahraga di kalangan anak-anak. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan bagi sebuah pabrik apparel dan NBA untuk memajukan olahraga di Afrika. Lewat program Basketball Without Borders, kejahatan di Afrika diharapkan bisa ditekan.
“Anak-anak di Afrika memiliki banyak kesempatan untuk mengubah nasib. Semua itu bergantung pada kerja keras mereka untuk menggapai cita-cita. Mereka memiliki passion namun kurang pengarahan,” terang Mark Hughes, pemandu bakat New York Knicks yang sudah empat tahun menjadi pelatih di program tersebut seperti dilansir ABC News.
Basketball Without Borders memang menjadi salah satu harapan bagi anak-anak Afrika keluar dari nasib kelam. Program itu dirancang selayaknya sebuah camp. Puluhan anak-anak berbakat dari penjuru Afrika dikumpulkan menjadi satu lalu diajari fundamental basket.
Bukan hanya pelatih, program tersebut juga mendatangkan sosok-sosok asal Afrika yang sudah sukses di NBA. Salah satu pemain hebat yang pernah “mudik” untuk menjadi mentor ialah bintang Houston Rockets Dikembe Mutombo.
Berbagai pelajaran intensi yang diberikan memang membuahkan hasil. Salah satu produk program itu ialah Luc Richard. Sepuluh tahun lalu, dia adalah anak culun dari Kamerun yang mengikuti program tersebut. Namun, bakat besar, tekad kuat serta penanganan yang tepat dari para mentor membuatnya berstatus miliarder setelah bermain untuk MilwaukeeBucks.
Berapa penghasilannya? Tahan nafas Anda. Richard dibayar kurang lebih Rp 42 miliar setahun. Dia mengakui bahwa program itu sangat membantu menyelesaikan
berbagai masalah kekerasan di Afrika.
“Untuk anak-anak yang masih harus menjalani masa menyenangkan, basket adalah alat untuk mewujudkan keinginan itu. Setelah melewati masa-masa ketika ada pemerkosaan maupun kehilangan orang tua akibat perang, mereka hanya perlu bermain basket,” ujar Richard. (jos/mas/jpnn)
Keadaan tersebut membuat banyak pihak bahu membahu untuk mengentaskan masalah itu. Salah satu caranya ialah dengan mengintensifkan olahraga di kalangan anak-anak. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan bagi sebuah pabrik apparel dan NBA untuk memajukan olahraga di Afrika. Lewat program Basketball Without Borders, kejahatan di Afrika diharapkan bisa ditekan.
“Anak-anak di Afrika memiliki banyak kesempatan untuk mengubah nasib. Semua itu bergantung pada kerja keras mereka untuk menggapai cita-cita. Mereka memiliki passion namun kurang pengarahan,” terang Mark Hughes, pemandu bakat New York Knicks yang sudah empat tahun menjadi pelatih di program tersebut seperti dilansir ABC News.
Basketball Without Borders memang menjadi salah satu harapan bagi anak-anak Afrika keluar dari nasib kelam. Program itu dirancang selayaknya sebuah camp. Puluhan anak-anak berbakat dari penjuru Afrika dikumpulkan menjadi satu lalu diajari fundamental basket.
Bukan hanya pelatih, program tersebut juga mendatangkan sosok-sosok asal Afrika yang sudah sukses di NBA. Salah satu pemain hebat yang pernah “mudik” untuk menjadi mentor ialah bintang Houston Rockets Dikembe Mutombo.
Berbagai pelajaran intensi yang diberikan memang membuahkan hasil. Salah satu produk program itu ialah Luc Richard. Sepuluh tahun lalu, dia adalah anak culun dari Kamerun yang mengikuti program tersebut. Namun, bakat besar, tekad kuat serta penanganan yang tepat dari para mentor membuatnya berstatus miliarder setelah bermain untuk MilwaukeeBucks.
Berapa penghasilannya? Tahan nafas Anda. Richard dibayar kurang lebih Rp 42 miliar setahun. Dia mengakui bahwa program itu sangat membantu menyelesaikan
berbagai masalah kekerasan di Afrika.
“Untuk anak-anak yang masih harus menjalani masa menyenangkan, basket adalah alat untuk mewujudkan keinginan itu. Setelah melewati masa-masa ketika ada pemerkosaan maupun kehilangan orang tua akibat perang, mereka hanya perlu bermain basket,” ujar Richard. (jos/mas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... MU Perlebar Jarak Dengan City
Redaktur : Tim Redaksi