Ali Fauzi, Adik Amrozi yang Enggan Disebut Insaf Jadi Teroris

Cukup Tiga Jam Ajarkan Orang Awam Bikin Bom

Sabtu, 27 April 2013 – 11:50 WIB
Keluarga Amrozi. Foto: dok JP
Tak banyak teroris yang “insaf” dan ikhlas meninggalkan aktivitasnya. Namun bagi Ali Fauzi yang memilih meninggalkan dunia terorisme, ia tak ingin disebut insaf. Berikut obrolan singkat media ini dengan adik Amrozi --terpidana mati Bom Bali I, seputar pengalamannya selama bergabung di Jamaah Islamiyah (JI).

========================
ROMDANI, Balikpapan
========================

KAMIS (25/4) sore Gedung Biru kembali kedatangan tamu. Kali ini Kantor Kaltim Post di Jalan Soekarno Hatta, Kilometer 3,5 Balikpapan itu disambangi Ali Fauzi, mantan anggota JI. Ali yang merupakan “pelaku sejarah”, mendampingi kunjungan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyad Mbai; didampingi Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi, BNPT, Agus Surya Bakti; korban pengeboman Hotel JW Marriott Jilid II, Max Boon; dan sejumlah jajaran BNPT.

Ali berkisah, tepat 1998, ia ditunjuk oleh JI Jawa Timur menjadi instruktur materi field engineering (metode pengeboman). Selama di sana, dia sudah melatih 250-an orang Indonesia belajar merakit bom.

Tak sekadar merakit bom, setiap anggota JI didoktrin jihad. Namun, jihad yang diajarkan itu dinilainya tak sesuai syariah Islam. Lebih pada jihad dengan cara radikal. Tak sedikit pula anggota JI yang kecewa dan memilih keluar dari jamaah itu.

Adik kandung Ali Imron, terpidana mati Bom Bali ini mengaku, selama bergabung di JI, ia mengajari banyak pengikut aliran itu belajar merakit bom. Hanya waktu tiga jam untuk mengajari seorang awam alias sama sekali tak mengerti merakit bom. Namun, ukuran bom itu hanya seberat 5 kilogram dengan daya ledak hingga 800 meter. Membuat bom menurut dia, sangat mudah. Apalagi bahannya tak susah diperoleh.

Walau dulu dia termasuk salah seorang sindikat terorisme, namun selama bergabung dengan JI dan dia mengamati pergerakan kelompok itu dinilainya telah melampaui batas. Cara yang dilakukan JI, tak sepaham dengan Fauzi.

Menurut dia, banyak anggota JI yang tak mengetahui inti “perjuangan”. Misalnya, dengan doktrin jihad, lalu sang eksekutor menaruh bom di tempat umum kemudian diledakkan. Target utama tak kena, malah banyak korban jiwa yang melayang dari kalangan tak berdosa. Dari korban itu bahkan sebagian adalah anak kecil.

Selain itu, ada pula anggota jaringan terorisme yang mengumpulkan dana dengan cara merampok. Sejumlah orang berduit di negeri ini dirampas hartanya. Setelah mengumpulkan sejumlah uang, dana itu yang digunakan untuk membeli material bom. Selanjutnya merakit dan merencanakan pengeboman di suatu daerah.

Yang lebih keji lagi, sambung saudara Amrozi ini, ketika teroris meledakkan bom di Indonesia, mereka tak mengakui siapa yang mengebom. Akhirnya ada sejumlah pihak yang tertuduh. “Dalam jihad itu tak boleh diam-diam, harus ada pemimpin yang bertanggung jawab. Kemudian menjelaskan bahwa mereka yang mengebom. Itu baru jihad yang sesungguhnya,” jelas dia.

Ali Fauzi menuturkan, pada 2001 dia sudah mulai meninggalkan JI. Bahkan ia mendorong sebagian anggota JI untuk menyuarakan menghentikan operasi jihad yang dinilai melenceng dari syariat Islam. Saat Bom Bali I Oktober 2002, ia sudah tak lagi bergabung dengan JI.

Ia memilih mundur dan keluar dari anggota Jamaah Islamiyah (JI), lantaran sudah tak sesuai ideologinya. Kini dia menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiah, Lamongan.

Meski sudah keluar dari JI, pengalamannya bisa merakit sebuah bom tak pernah hilang dari ingatan. Namun pengalamannya itu kini lebih untuk kedamaian, mengajarkan kebaikan bagi semua orang, serta memberantas terorisme. (*/ibr/k3)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bangga Namanya Tercantum di Komik Amerika

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler