AMDK Sudah Jadi Kebutuhan Masyarakat, Distribusinya Tidak Boleh Terganggu Saat Libur Nataru

Rabu, 04 Desember 2024 – 17:47 WIB
Masyarakat sudah menjadikan air minum dalam kemasan (AMDK) sebagai kebutuhan strategis yang harus terpenuhi setiap saat. Foto: source for jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Masyarakat sudah menjadikan air minum dalam kemasan (AMDK) sebagai kebutuhan strategis yang harus terpenuhi setiap saat.

Terbukti, seringkali begitu terjadi kelangkaan AMDK, itu akan menimbulkan keresahan di masyarakat.

BACA JUGA: Kemenhub Diminta Bijak dalam Membuat Aturan Pelarangan Truk Sumbu 3 Saat Libur Nataru

Pembina Industri Ahli Muda Direktorat Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar (Mintegar) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Rizal, dalam sebuah acara Trijaya Business Forum baru-baru ini pun meminta agar Menteri Perhubungan mengevaluasi kembali Surat Kesepakatan Bersamanya (SKB) dengan Menteri PUPR dan Kakorlantas, yang memasukkan AMDK dalam pelarangan truk sumbu 3 atau lebih untuk beroperasi saat momen Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 mendatang.

Dia beralasan AMDK saat ini sudah tergolong ke dalam kebutuhan pokok masyarakat yang tidak boleh langka di masyarakat sama halnya seperti sembako.

BACA JUGA: Pelarangan Truk Sumbu 3 Saat Nataru Dinilai Berpotensi Negatif terhadap Perekonomian Nasional

Dia mengatakan pada prinsipnya Kementerian Perindustrian memahami latar belakang diberlakukannya kebijakan pembatasan angkutan barang selama libur panjang, baik Nataru maupun Lebaran, yaitu untuk menunjang kelancaran arus lalu lintas masyarakat, khususnya di jalan tol.

Namun, lanjutnya, perlu juga mencermati secara teknis pelaksanaan kebijakan ini, di mana memang terdapat barang-barang yang dikecualikan pembatasannya seperti BBM, hewan ternak, pupuk, pakan ternak, dan bahan-bahan pokok.

BACA JUGA: DPR: Kepentingan Hilirisasi Industri Tak Boleh Terhambat Kebijakan Pelarangan Truk Sumbu 3 Saat Nataru

Namun, lanjutnya, AMDK yang tingkat konsumsinya meningkat cukup tinggi di masyarakat dalam periode libur panjang tersebut, belum masuk dalam barang yang dikecualikan sehingga industri mengalami kesulitan dalam melakukan distribusi dan berpotensi terjadinya kelangkaan di beberapa wilayah.

“Tentu kondisi ini bisa membuat masyarakat menjadi resah dan menjadi panik,” ujarnya.

Kondisi kelangkaan AMDK ini, menurutnya, juga berpotensi menimbulkan praktik penimbunan barang, yang pada akhirnya menyebabkan kenaikan harga. “Dan tentu saja berdampak lagi pada masyarakat sendiri sebagai konsumen,” ucapnya.

Karenanya, kata Rizal, Kemenperin mengusulkan agar SKB tersebut mempertimbangkan pengkajian ulang terhadap bahan pokok yang masuk ke dalam barang yang dikecualikan dengan memasukkan AMDK juga.

Di acara serupa, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin), Rachmat Hidayat, menuturkan bahwa pada 2019 lalu, pemerintah pernah mengeluarkan keputusan bahwa untuk industri tertentu termasuk di dalamnya produk AMDK itu diperbolehkan melintas selama periode pembatasan libur panjang nasional dalam hal ini Lebaran ataupun Nataru.

“Namun, kemudian pemerintah mengubah kebijakannya pada 2023 dengan mengeluarkan AMDK dari barang yang dikecualikan. Dan sampai sekarang kami pun belum tahu alasannya apa,” tuturnya.

Padahal, dia mengakui konsumen sangat tinggi permintaannya untuk produk AMDK apalagi di saat libur panjang. ”Nah, bayangkan jika suplainya dibatasi, AMDK ini bisa langka dan masyarakat akan sulit mendapatkannya. Jika pun ada, harganya pasti sangat mahal,” tukasnya.

Ditempat yang sama, ekonom Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Aknolt Kristian Pakpahan mengatakan SKB 3 Kementerian/Lembaga soal pelarangan truk sumbu 3 atau 3 di saat libur Nataru ataupun Lebaran ini sebenarnya sudah berjalan lama dalam konteks kebijakan publik.

Jadi, menurutnya, seharusnya yang namanya kebijakan publik itu harus memenuhi tiga prinsip. Pertama, tata cara perumusan ketika kebijakan itu akan dibuat juga harus melibatkan seluruh stakeholder dalam konteks ini.

“Mungkin tidak hanya sekadar melibatkan regulator saja, tapi juga perlu pengusaha dan kami kelompok akademisi yang masukan-masukannya harus dipertimbangkan,” katanya.

Yang kedua, lanjutnya, ada namanya tata cara implementasi, bagaimana kemudian ketika SKB sudah dikeluarkan menjadi satu kebijakan, harus mitigasinya seperti apa. Ketiga adalah ada tata cara evaluasi.

“Nah, tiga prinsip ini yang rasanya perlu menjadi fokus ketika SKB ini dibuat. Di sinilah ada yang namanya penguatan koordinasi multi sektor. Jadi, ketika kita bicara SKB tersebut, itu jangan hanya sekadar bicara Kementerian Perhubungan, Kementerian PUPR, dan Polri, tapi harus juga melibatkan Kementerian Perdagangan Kementerian Perindustrian yang mewakili industri,” ujarnya.(ray/jpnn)


Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler