jpnn.com, JAKARTA - Ketua Bidang Politik PP KB FKPPI Arif Bawono menyebut jalan menuju penundaan pemilu atau penambahan masa jabatan presiden masih tertutup.
Pasalnya, ketentuan di UUD 1945 tentang kedua hal tersebut belum berubah.
BACA JUGA: Sekjen Jokpro Bantah Ada Donatur Penyokong Dukungan Jokowi 3 PeriodeÂ
“Meskipun terhalang oleh konstitusi, namun hal itu (Penundan Pemilu) juga bukan hal yang mustahil. Sebab, pada dasarnya UUD 1945 pun merupakan konstitusi yang terbuka terhadap perubahan. Ingat Pasal 37 UUD 1945 secara umum membahas tentang perubahan UUD,” ujar pria yang akrab disapa Boy itu dalam keterangannya, Rabu (16/3).
Dia menjelaskan bahwa konstiusi dapat diubah jika sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR. Usul perubahan pasal dapat disampaikan dalam sidang MPR.
BACA JUGA: Soal Wacana Presiden 3 Periode, Mbah Mijan Sudah Meramalnya Sejak 2018?
Setiap usulan perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan. Usulan perubahan ini wajib disertai dengan alasan. Perubahan dapat dilakukan terhadap pasal-pasal yang UUD 1945, kecuali pasal yang mengatur tentang bentuk negara.
Jadi, secara teknis, mengubah UUD 1945 melalui proses amendemen bisa saja dilakukan untuk menindaklanjuti wacana penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden dan penambahan periode.
BACA JUGA: Soal Presiden 3 Periode, Amien Ungkit Noda Sejarah Soekarno dan Soeharto
Namun, jika melihat dampak dari usulan penundaan Pemilu berkaitan langsung dengan ketentuan-ketentuan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, maka ada potensi konflik kepentingan.
Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan sendirinya. Penundaan Pemilu, artinya mereka akan memperpanjang masa jabatan mereka sendiri.
"Hasil amendemen itu bisa dipastikan akan menguntungkan para pengusul dan pembahas," ujar Boy.
Jika amendemen tetap dipaksakan, ujar Boy, maka dapat dipastikan akan membawa dua dampak langsung.
Pertama, secara hukum produk UU yang rawan konfil keperntingan ini bisa dimasukan dalam delik korupsi. Setidaknya merupkaan persekongkolan jahat.
Kedua, amendemen tidak akan memiliki dasar legitimasi yang cukup. "Apakah konstitusi yang tidak legitimate akan mampu bertahan lama?" tanya dia.
Jika amendemen tetap dipaksakan dan dilaksanakan, maka para penyelenggara negara itu semuanya mungkin sah tapi tidak terlegitimasi. Risiko terbesarnya adalah, pembangkangan rakyat terhadap penguasa.
Rakyat memiliki alasan membangkang kepada presiden, wakil presiden, para menteri. Membangkang terhadap produk legislasi yang dihasilkan DPR, DPD dan MPR.
“Solusi paling memungkinkan adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat sebagai pemilik sah republik ini. Maka, tanyakan langsung ke rakyat maunya bagaimana? Hidupkan kembali beleid referendum,” ujar Boy.
Polemik masa jabatan presiden dan penundaan pemilu ini merupakan saat tepat untuk menghidupkan kembali referendum, Hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan dan konstitusi hanya bisa diputuskan oleh rakyat selaku pemilik sah republik ini. Pemerintah dan parlemen hanyalah penyelenggara negara.
"Jangan sampai ini keterusan, apalagi kita semua mahfum bagaimana oligarki bekerja di eksekutif, legislatif dan bahkan yudikatif. Jika, semua hal termasuk kedaulatan kita percayakan pada mereka. Negara dan bangsa ini akan semakin tergadai,” pungkas Boy. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil