Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken mengatakan larangan impor barang produksi dari wilayah Xinjiang, Tiongkok, kini mulai diberlakukan dengan alasan adanya genosida di sana.

Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) AS telah mulai menegakkan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa di Uighur, yang ditandatangani Presiden Joe Biden menjadi pada bulan Desember lalu.

BACA JUGA: Umat Islam Australia Terpukul Melonjaknya Ongkos Naik Haji dan Sistem Undian

CBP menyatakan pihaknya siap untuk menerapkan UU yang menganggap semua barang dari Xinjiang diproduksi dengan cara kerja paksa, kecuali dapat pihak importir dapat menunjukkan bukti sebaliknya.

Pemerintah Tiongkok dilaporkan mendirikan kamp-kamp tahanan untuk warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya.

BACA JUGA: Kekurangan Pekerja di Bandara Australia Diperkirakan Akan Berlanjut Sampai Setahun ke Depan

CPB menambahkan para importir barang dari Xinjiang akan diminta untuk menunjukkan bukti kuat untuk mendapatkan pengecualian.

“Kami telah menggalang negara-negara sekutu dan mitra untuk membuat rantai pasokan global terbebas dari praktek kerja paksa, untuk berbicara menentang kekejaman di Xinjiang, dan untuk bersama kami mendesak Pemerintah RRC segera mengakhiri kekejaman dan pelanggaran HAM," kata Menlu Blinken dalam sebuah pernyataan.

BACA JUGA: Penipuan Online Banking di Australia Bikin Geger, Saldo Rp 300 Juta Terkuras dalam 2 Menit

"Bersama dengan badan-badan pemerintahan, kami akan terus melibatkan perusahaan untuk mengingatkan mereka tentang kewajiban hukum AS ini," katanya.

Pada tahun lalu, Komite Senat Australia juga menyerukan agar Undang-Undang Kepabeanan diamandemen "untuk melarang impor barang apa pun yang seluruhnya atau sebagian dibuat dengan cara kerja paksa".

ABC telah menghubungi pemerintah federal untuk menanyakan apakah Australia berencana mendukung langkah AS dan mengambil tindakannya sendiri.

Pemerintah Tiongkok menyangkal adanya pelanggaran HAM di Xinjiang, produsen kapas utama yang juga memasok sebagian besar panel surya ke berbagai negara.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Wang Wenbin mengatakan bahwa klaim adanya kerja paksa di Xinjiang adalah "kebohongan besar yang dibuat oleh kelompok-kelompok anti-Tiongkok."

"Dengan adanya UU seperti ini, Amerika Serikat justru berusaha menciptakan pengangguran paksa di Xinjiang dan mendorong negara lain untuk menjauh dari Tiongkok," kata Wang.

Beijing awalnya menyangkal keberadaan kamp tahanan, tapi kemudian mengakui telah mendirikan "pusat pelatihan kejuruan" yang diperlukan untuk mengekang apa yang dikatakannya sebagai terorisme, separatisme, dan radikalisme agama di Xinjiang.

Pekan lalu, CBP mengeluarkan daftar entitas Xinjiang yang diduga menggunakan cara kerja paksa, yang mencakup perusahaan tekstil, silikon poli panel surya, dan elektronik.

CPB bahkan mengancam akan melarang impor dari negara lain jika rantai pasokan produk mereka terkait dengan produk atau bahan dari Xinjiang.

AS, Inggris dan negara-negara lain telah menyerukan Organisasi Perburuhan Internasional PBB membentuk misi untuk menyelidiki dugaan pelanggaran praktek perburuhan di Xinjiang. Masuk dari negara ketiga

Kelompok hak asasi manusia dan asosiasi perdagangan yang mendukung produsen domestik AS telah memperingatkan bahwa barang-barang dari Xinjiang dapat masuk ke produk impor panel surya dari negara lain, mengingat sulitnya memverifikasi rantai pasokan di Tiongkok.

Sebelumnya pada bulan Juni, Presiden Biden membebaskan tarif panel surya dari empat negara Asia Tenggara, yang mengarah ke tuduhan bahwa pemerintahannya tidak serius menindak praktek kerja paksa.

Menurut Alan Bersin, mantan komisioner CBP, lembaga ini mungkin membutuhkan waktu dua tahun untuk menerapkan UU tersebut.

"Penegakan aturan ini bisa menimbulkan kepanikan di ruang-ruang eksekutif perusahaan di seluruh negara kita, di mana perusahaan besar tak punya visibilitas ke dalam rantai pasokan mereka selain dari pemasok langsung," jelasnya.

Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gegara Pandemi dan Perang, Harga Kebutuhan Pokok di Seluruh Dunia Meroket

Berita Terkait