jpnn.com - Belakangan ini belajar koding sudah menjadi tren. Untuk bisa menguasainya, siapa pun harus siap merogoh kocek dalam-dalam. Di sisi lain, sekolah Markoding hadir dengan layanan cuma-cuma, khusus untuk anak-anak dari keluarga marginal atau miskin.
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
BACA JUGA: Facebook Setop Aplikasi Panggilan Video Grup
PROFESI programer dijalani Amanda Aprilanie Simandjuntak sejak 2008. Setelah lulus dari Curtin University, Australia, ahli komputer sains itu sempat bekerja di sebuah perusahaan konsultan IT di Australia.
Hanya dua tahun bekerja, Amanda pun mendirikan Kolibri Commerce, perusahaan konsultan IT yang berbasis di Jakarta.
BACA JUGA: Facebook Blokir Para Penebar Fitnah dan Kebencian
Kedekatan Amanda dengan anak-anak marginal terjadi sejak pertengahan 2017. Amanda ketika itu dimintai tolong salah seorang temannya untuk menjadi relawan di House of Mercy. Rumah belajar di kawasan Cilincing, Jakarta Utara, itu fokus membantu pendidikan anak-anak miskin di kawasan perkampungan nelayan tersebut.
’’Saat itu saya bertugas mengajar bahasa Inggris,’’ katanya saat ditemui di daerah Kemang, Jakarta, akhir Maret lalu.
BACA JUGA: Facebook Ingin Pengguna Messenger, WhatsApp dan Instagram Bisa Terhubung
Sekitar tiga bulan menjadi relawan di rumah belajar tersebut, Amanda mengamati keseharian anak-anak yang diajar. Banyak yang suka bermain ponsel pintar. Ada juga yang setelah belajar, langsung main ke rental internet untuk main game. Amanda masih ingat rentalnya berdiri di atas sebuah muara.
BACA JUGA: Taufik Rela Tinggalkan Pekerjaan di BUMN demi Awasi Putrinya
Amanda pun merasa tergelitik melihat hal itu. Dia menilai aktivitas berinternet anak-anak tersebut kurang produktif. Sebab, kebanyakan bermain game, nonton YouTube, atau berselancar di Facebook (FB). ’’Daripada gak jelas, kenapa tidak belajar koding sekalian,’’ katanya.
Perempuan kelahiran Bandung, 16 April 1987, itu optimistis anak-anak tersebut bisa diajak belajar koding. Sebab, menurut pengamatannya, anak-anak itu memiliki ketertarikan yang besar terhadap internet. Jumlahnya memang tidak banyak, hanya lima anak.
Amanda mengajak lima anak itu untuk mengenal apa itu koding. Pelajaran mendasar dari koding mulai diajarkan. ’’Mereka di awal-awal belajar bagaimana maintenance website,’’ katanya.
Pelajaran pertama adalah mengajar anak-anak itu kemampuan mengolah HTML atau CMS (content management system). Tentu, bukan hal yang mudah. Namun, Amanda memiliki trik tersendiri. Untuk mempermudah anak-anak itu belajar, Amanda saat itu menunjukkan kemampuannya dengan membongkar website Facebook.
Itu dilakukan karena selama pengamatannya, anak-anak suka bermain Facebook. Amanda menunjukkan jeroan dari website Facebook.
’’Mau apa gak seperti saya ini,’’ kata Amanda menirukan ajakan kepada anak-anak saat itu. Ternyata anak-anak mengiyakan dengan antusias. Anak-anak pun dilatih bertahap menjadi seorang programer. Di antaranya, bagaimana membuat website dan merawatnya supaya tidak mengalami gangguan.
Pengalaman mengajar koding itu memperbesar jiwa sosial Amanda. Dia ingin agar koding bisa dipelajari gratis oleh lebih banyak anak-anak. Amanda memutuskan mendaftarkan program belajar koding nonprofit itu ke kompetisi MIT Solve di Amerika Serikat.
Di kompetisi yang diselenggarakan Massachusetts Institute of Technology (MIT) itu, Amanda mendaftarkan programnya tersebut dengan nama Markoding.
Program yang diusung Amanda dinilai inspiratif oleh dewan juri. Markoding yang dibentuk Amanda bersama Rhita Simorangkir mampu menembus final. Dari penjuru dunia, hanya dipilih sepuluh inovasi program sosial berbasis teknologi yang masuk tahap final. ’’Kami dari Indonesia masuk babak final bersama Ruangguru,’’ ujarnya.
Amanda sempat diundang ke New York, AS, untuk menyampaikan presentasi. Sayang, meski mencapai final, program Markoding buatan Amanda tidak mendapat pendanaan. Sebab, program tersebut belum berjalan. Berbeda dengan Ruangguru yang saat itu berhasil memperoleh funding.
Sepulang dari presentasi di AS, perempuan yang hobi main piano itu malah tambah semangat. Dia langsung tancap gas menjalankan Markoding. Amanda memulainya dengan merekrut relawan programer, ditambah menjalin kerja sama dengan sejumlah sekolah untuk rekrutmen siswa.
Markoding pun mulai berjalan pada Juli 2018. Sejumlah relawan programer yang bergabung berasal dari sejumlah start-up seperti Kudo dan Tokopedia. Total ada sepuluh relawan yang bergabung. Pada gelombang pertama, program Markoding mampu menyaring 87 siswa dari target 100 siswa.
Seluruh siswa itu berasal dari empat sekolah di Jakarta Timur, yakni SMK Karya Dharma, SMAN 91, SMKN 58, dan SMAN 9. Amanda menegaskan, yang mengikuti program Markoding adalah anak-anak dari keluarga kurang mampu alias marginal. Salah satu syaratnya adalah siswa pemegang kartu Jakarta pintar (KJP).
Pembelajaran koding yang cuma-cuma tersebut dilakukan di tiap-tiap sekolah. Memanfaatkan laboratorium komputer yang ada. Pembelajaran koding berlangsung seharian setiap Sabtu. Amanda pun ikut mengajar. ’’Saya keliling, dari satu sekolah ke sekolah lainnya,’’ jelas dia.
Menurut Amanda, anak-anak cukup antusias. Namun, dia tidak memungkiri, ada anak yang putus di tengah jalan. Bagi dia, selama memiliki ketertarikan dengan internet, memiliki logika bagus, serta bisa berbahasa Inggris, mudah untuk belajar koding dan menjadi programer andal.
Pada proses pembelajaran koding tersebut, materi yang diajarkan cukup beragam. Di antaranya adalah web development dan Java Script. Amanda mengatakan, kebanyakan anak-anak mengaku baru pertama merasakan belajar koding.
Amanda menilai, tantangan belajar koding di Indonesia adalah kekurangan guru. Selain itu, kecenderungan guru yang tidak mau belajar. Khususnya terkait hal-hal baru. Di antaranya adalah soal koding.
BACA JUGA: Dorong Revisi UU ASN Dikebut, Honorer K2 Optimistis Diangkat jadi PNS
Menurut dia, sudah waktunya pelajaran koding yang mengasah logika dan berpikir komputasi (computational thinking) anak-anak dimasukkan pembelajaran sehari-hari. ”Berpikir komputasi itu mengajarkan siswa untuk bisa memecahkan permasalahan,” ujarnya.
Dia menegaskan, koding itu berbeda dengan belajar komputer yang pernah diajarkan di sekolah. Ketika masih ada mata pelajaran komputer di sekolah, yang diajarkan ke siswa adalah kemampuan dasar. Contohnya, menggunakan Microsoft Word, Excel, atau membuat bahan presentasi dengan PowerPoint.
”Padahal, programer andal di Indonesia masih langka. Sebenarnya ironis. Di saat masih banyak pengangguran di Indonesia,’’ katanya.
Amanda memiliki misi besar, yakni mengurangi tingkat pengangguran yang sangat tinggi, terutama para lulusan SMK. Dia berharap Markoding bisa semakin luas menjangkau anak-anak.
”Anak-anak yang belajar koding tidak perlu minder karena bukan lulusan akademi atau perguruan tinggi. Sebab, banyak lulusan program komputer perguruan tinggi yang sulit mencari kerja karena tidak menguasai koding,” ujar Amanda.
Salah seorang siswa yang mengikuti pelatihan koding adalah Tiwi. Siswi 18 tahun itu mengaku sudah bisa membuat website. Selain itu, Tiwi mampu membikin kode HTML (hypertext markup language) dan CSS (cascading style sheets).
CSS adalah sesuatu yang mengatur beberapa komponen dalam sebuah website. ’’Sebelum mengikuti Markoding, saya tidak tahu koding itu apa,’’ tuturnya.
Dengan kemampuan tersebut, Tiwi mengatakan bisa membuat komputer atau website menuruti kehendak dirinya. Lewat Markoding, Tiwi merasa bisa menambah pengetahuan dan peluang usaha. ”Saya ingin terus memperdalam kemampuan koding saya,” ujarnya. (*/c10/bay)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Facebook Janji Akan Benahi Massenger Lebih Ringan dan Cepat
Redaktur : Tim Redaksi