JAKARTA -- Kasus pidana yang membuat AAL, seorang pelajar di Palu yang sudah divonis bersalah karena didakwa mencuri sandal jepit milik seorang polisi, dinilai mengusik keadilan masyarakat.
Anggota Komisi III DPR Aboebakar Alhabsy, mengungkapkan, memang negeri ini hanya mengenal satu sistem hukum pidana. Jadi semua perkara pidana akan ditangani polisi dan jaksa yang akan bermuara di pengadilan.
Berbeda dengan sistem perdata yang mengenal lembaga mediasi maupun arbitrase. Akibatnya, secara yuridis normatif perkara pidana sekecil apapun harus tetap diproses di pengadilan, termasuk pencurian sandal jepit. "Ini sangat mengusik rasa keadilan masyarakat, karena aparat terlalu bertindak legalistik," ungkapnya lewat pesan blackberry massenger, Kamis (5/1).
Dijelaskan, berbeda dengan peradilan di Arab, mereka memiliki sistem pidana dengan hukuman Qishas dan potong tangan. Namun mereka juga memiliki lembaga pemaaf.
"Jadi, jangankan mencuri sandal, membunuh pun disana bisa dimaafkan seperti yang terjadi terhadap Darsem kemarin," jelas dia.
"Pada kasus AAL memang sangat kita sayangkan kenapa Briptu AR tidak mau menyelesaikan ini dengan baik-baik. Inilah potret buram penegakan hukum di Indonesia, hanya karena sendal jepit, semangka, pisang ataupun piring rakyat kecil dengan mudahnya masuk penjara," katanya lagi. Lantas ia memertanyakan, kenapa kasus-kasus besar seperti Century, mafia pajak, dan beberapa kementerian terkesan jalan di tempat.
"Khusus untuk persoalan peradilan anak seperti kasus AAL ini kami sedang menggodok aturannya, namanya sistem peradilan anak, saya sendiri masuk menjadi salah satu anggota panja tersebut," katanya.
Menurut dia, dalam aturan ini mengedepankan prinsip restoratif justice, yaitu sebuah konsep restorasi keadilan. "Pemidanaan buat anak bukan lagi sekedar memberikan efek jera, namun bagaimana mengembalikan sebuah persoalan pada keadaan yang semestinya terjadi," ujarnya.
Disini nanti, sambung dia, anak-anak yang berhadapan dengan hukum tak mesti harus masuk penjara, melainkan dibina dalam sebuah panti, pemondokan atau sejenis boarding school.
"Semoga saja aturan baru yang sedang digodok ini bisa memberikan jawaban atas persoalan yang selama ini terjadi," tuntasnya.
Seperti diketahui, November 2010 ketika AAL bersama temannya lewat di Jalan Zebra, di depan kost Briptu Ahmad Rusdi. Melihat ada sandal jepit, ia kemudian mengambilnya. Suatu waktu pada Mei 2011, Polisi itu kemudian memanggil AAL dan temannya. Menurut Briptu Ahmad, kawan-kawannya juga kehilangan sandal. AAL dan temannya pun diinterogasi sampai kemudian AAL mengembalikan sandal itu.
Selain diinterogasi, AAL juga dipukuli dengan tangan kosong dan benda tumpul. Akibatnya, AAL mengalami lebam di punggung, kaki dan tangan. Kasus ini bergulir ke pengadilan dengan mendudukkan AAL sebagai terdakwa pencurian sandal dan akhirnya divonis bersalah dan dikembalikan ke orang tuanya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gejolak Politik 2012 Memanas, SBY tak Cemas
Redaktur : Tim Redaksi