Analisis Boni Hargens Tentang Kisruh TWK Bagi Pegawai KPK

Jumat, 11 Juni 2021 – 01:50 WIB
Boni Hargens. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Analis Politik sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia Boni Hargens mengatakan kisruh soal tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap 1.351 pegawai KPK yang berujung pada pemberhentian 51 dari total 75 pegawai yang gugur dalam tes tersebut masih berlanjut.

Boni menilai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahkan ikut nimbrung. Komisi ini memanggil KPK untuk melakukan klarifikasi di kantor Komnas HAM terkait TWK.

BACA JUGA: Prof Hamdi: Tes Wawasan Kebangsaan KPK Bisa Dibuktikan Secara Ilmiah

Dia menyebut eks penasihat KPK Abdullah Hehamahua dalam wawancara dengan yang disiarkan lagi di saluran Youtube bahkan secara tendensius menuduh Ketua KPK Firli Bahuri dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan sebagai pihak yang berada di balik skenario TWK.

“Saya melihat, isu TWK ini sudah dipolitisasi secara berlebihan. Masyarakat perlu mengetahui konteks besarnya,” kata Boni Hargens di Jakarta, Kamis (10/6).

BACA JUGA: Komnas HAM Jangan Sampai Cari Sensasi di Polemik TWK

Dalam hampir dua dekade terakhir, menurut Boni, sebetulnya kita sudah memasuki perang ideologi yang serius.

Dia menyebut kebangkitan politik identitas dalam ranah publik, entah dalam pemilihan kepala daerah maupun dalam pemilu di tingkat nasional, tidak pernah terlepas dari meluasnya pengaruh paham Wahabisme, terutama aliran Takfiri di Indonesia.

BACA JUGA: Soal 75 Pegawai KPK, Petrus: Komnas HAM Telah Bertindak Melampaui Wewenangnya

Boni mengatakan paham ini sejatinya memang tidak menerima konsep demokrasi dan ingin mendirikan Khilafah Islamiyah. Wahabi melihat demokrasi sebagai sistem yang haram atau disebut thogut.

“Aliran ini bahkan menghalalkan strategi kekerasan dalam perjuangan politik mereka,” ujar Boni.

Menurut Boni, sejumlah negara di Timur Tengah luluh lantak karena kelompok ini yang kebanyakan anggota dan simpatisannya berafiliasi dengan jaringan teroris internasional.

Mesir bahkan sempat berantakan setelah Arab Spring bermula di Tunia tahun 2010 karena ulah kelompok ini.

Dia menyebut radikalisasi sudah menjalar dan sukses menancapkan akarnya dalam berbagai lapisan sosial masyarakat dan dalam beragam institusi negara di Indonesia.

“Ini ancaman nyata terhadap ketahanan ideologi Pancasila yang harus direspons oleh Negara,” tegas Boni.

Menurut Boni, kita mendukung kerja KPK dalam pemberantasan korupsi karena memang kesejahteraan rakyat tak bisa diwujudkan kalau korupsi masih merajalela.

Namun, KPK juga perlu berjalan dalam koridor konstitusi supaya seluruh pegawai dan kinerjanya selaras dengan ideologi negara.

“Saya tidak menyinggung rumor tentang “kelompok Taliban” di tubuh KPK,” ujar Boni.

“Poin saya adalah bahwa TWK ini penting sebagai instrumen kebijakan dalam menjaga instasi negara dan semua lembaga publik bebas dari bahaya radikalisme,” ujar Boni lagi.

Dia berharap ke depan, semua birokrasi kementerian dan lembaga negara harus mengikuti tes yang sama.

“Jadi, bukan hanya untuk KPK. Tetapi amat disayangkan, isu ini kini menjadi bola liar dan unsur politisnya makin kental,” kata dia.

Komnas HAM, menurut Boni, sudah memasuki ranah abu-abu. Dugaan pelanggaran HAM dalam tes TWK itu secara implisit mau menuduh BKN, TNI, dan BIN sebagai pihak yang melakukan pelanggaran HAM karena soal-soal yang digunakan dalam TWK dibuat secara bersama oleh ketiga institusi tersebut.

“Saya cukup heran dengan motivasi Komnas HAM dalam isu yang sumir ini. Kenapa komisi ini tidak begitu cepat bersuara membela korban pelanggaran HAM di lokasi tambang dan di berbagai konteks di tanah air, tetapi dalam isu KPK ini reaksinya begitu cepat,” ujar Boni.

Boni menilai Komnas HAM menari dalam tabuhan gendang yang orang lain.

“Saya khawatir komisi ini ikut bermain politik,” kata Boni.

Oleh karena itu, Boni mengatakan sebaiknya semua pihak kembali kepada aturan hukum yang ada.

TWK ini tes biasa sebagai upaya melawan radikalisasi yang menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi kita.

“Justru tuduhan-tuduhan insinuatif yang lakukan oleh Abdullah Hehamahua dan orang-orang lain yang berpendapat seperti itu menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu,” katanya.

Menurut dia, politisasi terhadap isu TWK rentan memunculkan kegaduhan yang berdampak pada kepentingan umum. Tidak perlu kita berspekulasi dan membuat tuduhan yang menyudutkan orang-orang tertentu.

“Isu KPK ini isu bersama. Kita semua harus terus mendukung kerja KPK yang profesional dan konstitusional. Korupsi harus dilawan sekeras-kerasnya, tetapi memakai KPK sebagai instrumen politik itu tidak dibenarkan oleh undang-undang,” katanya.

Boni mengatakan tidak semua pegawai yang gugur dalam tes itu dipecat. Sebagian justru mengikuti program pembinaan ideologi Pancasila.

“Itu artinya negara memiliki niat baik terhadap para pegawai yang ada. Di mana letak pelanggaran HAM di dalamnya? Kenapa Pak Abdullah mau menyeret isu ini ke pihak tertentu dan menyudutkan sosok tertentu? Cara berpikir seperti itu amat tidak etis dan berpotensi menimbulkan kekacauan yang tak berguna,” kata Boni.(fri/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler