jpnn.com, JAKARTA - Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (BEM STHI) Jantera Renie Aryandani menilai pilihan kata The King of Lip Service dari BEM Universitas Indonesia (UI) kepada Presiden Joko Widodo terlalu halus.
Dia menganggap dengan kondisi yang terjadi sekarang, sebutan untuk pria yang akrab disapa Jokowi itu bisa lebih maju.
BACA JUGA: BEM Universitas Asahan Minta Jokowi Tetap Fokus Bekerja
"Menurut saya sendiri, julukan The King of Lip Service justru terlalu sopan jika dibandingkan dengan tanggung jawab Pak Jokowi selama ini. Janji manisnya justru terealisasi menjadi melemahkan pemberatasan korupsi, pengabaian terhadap pelanggaran HAM, atau bahkan justru menjadi aktor pelanggar HAM itu sendiri semata untuk mengeksploitasi SDA dan tenaga kerja," kata dia dalam sebuah diskusi daring yang digelar ICW, Jumat (2/7).
Dia menganggap Presiden Jokowi melegalkan segala cara seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan digambarkan adil. "Padahal terdapat penyelundupan hukum di dalam, untuk siapa, ya, untuk oligarki," kata dia.
BACA JUGA: Luhut Ditunjuk Jokowi Menangani Pandemi, Saleh: Dia tidak Sendiri, Ada Ahli Mendampingi
Renie mencontohkan bahwa gerakan mahasiswa dan kelompok lainnya dulu menentang Revisi Undang-undang KPK, bahkan sampai memakan korban jiwa. Namun, Jokowi tidak mendengarkan aspirasi masyarakat dan membiarkan Undang-undang KPK itu disahkan.
"Ketika dia membiarkan itu terjadi terus menerus, kenapa kami tidak memberi julukan lain. Kalau Soekarno adalah Bapak Proklamator, Soeharto adalah Bapak Pembangunan, enggak salah ketika kami kasih julukan Presiden Jokowi sebagai Bapak Oligarki Indonesia," tegas dia.
BACA JUGA: Direktur Jaga Adhyaksa: Vonis Pinangki jadi Ujian Jokowi
Dia menilai Presiden Jokowi punya kepentingan oligarki sehingga gerakan demokrasi dibungkam. Renie melihat peristiwa itu terjadi di berbagai sektor, seperti masyarakat adat, buruh, petani, mahasiswa, dan sebagainya. Bahkan ketika kelompok tersebut bersuara, seketika itu pula dibungkam dan dibentengi aparat keamanan TNI-Polri.
"Kami lihat saja apa yang terjadi baru-baru ini, apa yang terjadi di Wadas, apa yang terjadi di Kalsel kemarin, bagaimana mungkin kami lupa atas kekejaman itu. Darah-darah manusia yang terpaksa mengucur karena kekejaman aparat TNI-Polri yang katanya mengayomi, melindungi, ternyata justru memberi rasa tidak aman, terancam, dan trauma dengan mereka," kata dia.
Menurut Renie, Presiden Jokowi memang beberapa kali menyampaikan bahwa dirinya mempersilakan masyarakat memberikan kritik. Namun, dia melihat kaki tangan rezim terus bergerak di bawah.
"Entah itu berwujud influencer pemerintah, pendamba komisaris, tukang rangkap jabatan, atau siapa pun mereka. Kami harus selalu hati-hati dan menjaga napas perjuangan. Sebab, ketika kami bungkam, kami enggak akan merubah apa pun," jelas dia. (tan/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga