jpnn.com, JAKARTA - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga pengawal aspirasi daerah dianggap telah tercemar dengan masuknya kalangan pengurus partai politik di dalamnya.
Kini DPD pun disebut tak jauh beda dengan DPR sebagai lembaga perwakilan yang dipilih melalui partai politik.
BACA JUGA: Ketua DPD Ajak Umat Muslim Menjaga Minoritas
Setidaknya terdapat 70 anggota DPD yang juga menjadi pengurus partai.
Bahkan Ketua DPD kontroversial Oesman Sapta Odang (OSO) adalah ketua umun Partai Hanura.
BACA JUGA: Novanto Berharap Hubungan dengan OSO Makin Solid
"Mendominasinya partai politik di kelembagaan DPD telah merusak bangunan bikameral yang diatur dalam UUD 1945. Konstitusi menghendaki DPD-RI diisi oleh perwakilan berdasarkan aspirasi daerah sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat diisi oleh perwakilan partai politik. Tapi sistem ini dirusak," ujar Kordinator Aksi BEM se-Jakarta, Ashar usai menggelar unjuk rasa di depan PTUN.
Ashar menegaskan, Aliansi BEM - Jakarta sangat prihatin karena terpilihnya ketua umum salah satu partai politik sebagai ketua DPD membuktikan adanya perebutan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
BACA JUGA: Keputusan DPD Ini Dianggap Melanggar UUD 1945
“Terpilihnya Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) sebagai Ketua DPD memperlihatkan kekhasaan perebutan kekuasaan di tubuh partai, yaitu penuh intrik dan manuver politik yang tidak sehat. Padahal keributan itu justru menyebabkan publik mengidentikan DPD dengan DPR,” tegasnya.
Mereka juga melihat adanya dugaan pemilihan dengan cara-cara yang ilegal.
Menurutnya, secara jelas terlihat bahwa pengambilan sumpah jabatan pimpinan DPD bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 38P/HUM/2017 dan Putusan Nomor 20P/HUM/2017 yang mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya terkait masa jabatan Pimpinan DPD harus hingga terpilihnya anggota DPD yang baru pada Pemilu berikutnya.
“Bagaimanakah sifat putusan MA? Sebagian kalangan berpendapat bahwa karena belum terdapat upaya mencabut Peraturan DPD yang dibatalkan MA, maka ketentuan tersebut masih berlaku, sehingga berkonsekuensi terhadap berakhirnya masa jabatan Pimpinan DPD dengan komposisi M Saleh, GKR Hemas, dan Farouk Muhammad,” tambahnya.
Karena itulah Aliansi tersebut memberikan kritik kepada Wakil Ketua MA yang hadir dalam pelantikan OSO.
Karena hal itu tentunya bertentangan dengan keputusan MA sendiri.
“Kehadiran Wakil Ketua MA dalam proses pelantikan Pimpinan DPD versi Oesman Sapta Odang (OSO). Kehadiran itu diperdebatkan karena, selain bertentangan dengan Putusan MA, juga tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 260 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Padahal, dalam undang-undang tersebut ditentukan bahwa Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia-lah yang semestinya melantik Ketua DPD-RI, bukan Wakil Ketua MA, ” tegasnya. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPD RI: Usul Hak Angket Penyadapan Mengada-ada
Redaktur & Reporter : Natalia