Anggota Komisi XI: Bitcoin Mirip Batu Akik

Selasa, 06 Februari 2018 – 17:19 WIB
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Gerindra Heri Gunawan. Foto: Biro Pemberitaan DPR

jpnn.com, JAKARTA - Kemunculan virtual currency atau mata uang digital seperti bitcoin disoroti oleh Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan. Dia khawatir karena terhitung sejak tahun 2017, bitcoin mengalami valuasi hingga 1.000 persen.

Untuk diketahui, pada tahun 2017, bitcoin terus membuat rekor baru. Harga 1 bitcoin lebih mahal daripada 1 ons emas atau sekitar Rp 55-56 juta.

BACA JUGA: Pilpres 2019, Gerindra Kejar 39 Kursi untuk Usung Prabowo

"Ini aneh. Jangan sampai itu akan jadi gelembung dan pecah. Ujungnya masyarakat yang dirugikan. Masih ingat kan dengan batu akik. Fenomenanya mirip. Heboh di awal, tapi akhirnya redup. Batu akiknya masih ada, tapi nilainya jadi biasa saja," ucap Heri kepada jpnn.com di kompleks Parlemen Jakarta, Selasa (6/2).

Menurut dia, gain yang tinggi sudah pasti punya risiko yang tinggi pula. Risiko pada bitcoin tidak boleh dipandang enteng.

BACA JUGA: Evaluasi Dana Otsus Papua, Gerindra: Pemerintah Lagi Panik

Sebagai aset digital, nilai fundamentalnya belum bisa dievaluasi. Harga normalnya pun tak diketahui berapa.

Akibatnya, nilai bitcoin secara dominan ditentukan oleh spekulasi pasar. Itu berarti nilainya sangat bergantung pada spekulasi, tidak jelas apa yang menjadi faktor penentu dari naik atau turunnya harga atau nilai tukarnya.

BACA JUGA: Tidak Ada Alasan! Semua Pompa di Jakarta Harus Siap

Belum lagi, dalam peraturan bitcoin ditolak sebagai mata uang atau alat pembayaran di Indonesia. Sebab, dalam undang-undang tidak mengenal alat pembayaran yang sah dengan nama bitcoin.

"Namun, yang aneh, peredarannya sejak awal tak dilarang," tukas politikus Gerindra ini.

Selain tidak adanya administrator resmi atau otoritas yang bertanggung jawab, bitcoin belum dianggap komoditas lantaran tidak adanya nilai fundamental.

Di sisi lain instrumen ini juga tidak dapat disebut aset keuangan seperti saham. Karena tidak ada underlying asset-nya. Sehingga sangat fluktuatif dan rentan terhadap risiko penggelembungan.

Selain itu risiko lainnya yang musti diwaspadai adalah potensi menjadi modus kejahatan seperti adanya dugaan pencucian uang, asusila sampai terorisme bahkan untuk perdagangan obat terlarang. Karenanya perlu upaya sistematis, koordinatif dari berbagai pihak terkait hal tersebut.

"BI, OJK dan PPATK harus lebih aktif melakukan pemantauan. Apalagi regulasi detil terkait pengawasan terhadap penggunaan uang kripto seperti bitcoin belum ada," kata Heri.

Dia pun mendesak pemerintah secara tegas menerapkan UU tentang Mata Uang. Jika ditemukan unsur tindak pidana di situ, maka harus segera dilakukan respons yang tegas demi menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.

Sama halnya BI melakukan sosialisasi lebih masif karena memperdagangkan bitcoin dapat mengganggu stabilitas sistem pembayaran nasional.

BI, OJK dan PPATK mesti segera melakukan upaya sistematis dan aktif dalam melakukan evaluasi terhadap virtual currency atau mata uang digital.

Tidak hanya bitcoin, tapi juga blackcoin, dash, degecoin, litecoin, namecoin, peercoin, primecoin, ripple dan sejenisnya.

"Kemudian harus segera dibuat regulasi yang detil dalam rangka menertibkan penggunaan mata uang kripto yang hingga hari ini belum ada aturannya. Dengan begitu, masyarakat dapat terlindungi," pungkas politikus asal Jawa Barat ini.(fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sepertinya Prabowo akan Pilih Jadi Kingmaker Ketimbang Kalah


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler