JAKARTA - Direktur Ekesekutif LBH Pajak dan Cukai Nelson Butar Butar mempertanyakan penerimaan pajak yang disampaikan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada 28 Desember 2015 yang lebih tinggi dibandingkan tahun 2014 sebesar Rp 982 triliun.
Aneh, karena menurut Nelson, menkeu belum genap sebulan menunjuk Ken Dwijugiasteadi sebagai Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pajak (DJP) terhitung sejak 2 Desember 2015 menggantikan Sigit Priadi Pramudito mundur karena gagal memenuhi target penerimaan pajak 2015 sebesar Rp 1,294,2 triliun.
"Penerimaan pajak sampai 25 Desember 2015 diklaim Bambang mencapai Rp1.000 triliun. Semua angka-angka yang disampaikan Bambang itu patut dipertanyakan," kata Nelson kepada wartawan di Jakarta Sabtu (2/1/).
Menkeu Bambang, lanjut Nelson, mengklaim meski belum mencapai target APBN-P 2015 sebesar Rp1.294,26 triliun, namun terkesan bangga karena capaian tersebut merupakan rekor penerimaan pajak tertinggi, melebihi realisasi penerimaan pajak tahun-tahun sebelumnya.
"Menteri Bambang malah memperkiraan penerimaan pajak hingga akhir tahun ini akan mencapai 85,8 persen dari target itu. Artinya kekurangan penerimaan pajak Rp 98 triliun untuk bisa mencapai penerimaan hingga 85 persen atau setara Rp 1.098 triliun akan dipenuhi dari sektor pajak non migas, PPh migas, bea dan cukai. KalauiItu terwujud, sangat luar biasa," tegas Nelson.
Bahkan ujar Nelson, Menkeu optimistis realisasi penerimaan pajak masih akan terus bertambah melalui upaya revaluasi aset BUMN perbankan, dan properti, serta melakukan pendekatan terhadap 50 Wajib Pajak (WP) besar dan reinventing policy.
"Pertanyaan kami, bisakah publik mendapatkan akses data otentik tersebut secara online untuk menguji kebenaran atas klaim Bambang itu?," tanya Nelson.
Berangkat dari pengalaman yang sudah-sudah, Nelson meragukan kebenaran data itu. Sebab sampai saat ini sistem informasi teknologi Dirjen Pajak masih error hingga sulit bagi publik untuk meyakini data riil penerimaan pajak yang diklaim tersebut.
Karena itu, Nelson menantang menkeu membuka data yang terupdate atas pernyataannya itu. Menkeu harus berani terbuka. Kalau pendukung klaimnya itu bukan data IT, patut diragukan.
"Biar semua bisa sama-sama mengujinya, sehingga tidak ada celah keraguan, seharusnya Menkeu perintahkan agar data DJP yang diklaimnya itu dikonversi langsung ke model IT saja. Jadi publik tidak perlu meraba-raba tentang klaim angka-angka itu. Atau jangan-jangan menkeu hanya menerima laporan asal bapak senang, padahal ke depan itu bisa bermasalah secara hukum," pungkasnya.(fas/jpnn)
BACA JUGA: Gubernur Minta 50 Persen tapi tak Digubris Pusat
BACA ARTIKEL LAINNYA... Apakah Cuman Ini Keunggulan Indonesia Hadapi MEA?
Redaktur : Tim Redaksi