Angka Putus Sekolah Meningkat, Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat Beri Solusi Bijak

Rabu, 07 Juni 2023 – 23:21 WIB
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema 'Mengurangi Angka Putus Sekolah dalam Mempersiapkan Generasi Penerus Menuju Indonesia 2045' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (7/6). Foto: Dokumentasi Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mendorong ruang pembelajaran dibuka seluas-luasnya bagi setiap anak bangsa.

Hal tersebut disampaikan Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema 'Mengurangi Angka Putus Sekolah dalam Mempersiapkan Generasi Penerus Menuju Indonesia 2045' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (7/6).

BACA JUGA: Dorong Pengembangan Pariwisata Berbasis NEWA, Begini Penjelasan Lestari Moerdijat

Menurut Lestari, ruang pembelajaran dibuka seluas-luasnya dengan mengoptimalkan sumber daya semaksimal mungkin untuk mempersiapkan generasi emas dan berdaya saing di masa datang.

"Peningkatan angka putus sekolah selama pandemi maupun disrupsi saat ini menunjukkan kita belum mampu melalui situasi krisis dan ketidakpastian global secara smooth di sektor pendidikan," kata Lestari Moerdijat.

Dia mengungkapkan sesuai laporan BPS menunjukkan angka putus sekolah kembali meningkat pada 2022, setelah mengalami tren penurunan sejak 2016.

BACA JUGA: Lestari Moerdijat Ajak Masyarakat Kokohkan Pelaksanaan Nilai Pancasila dalam Berbangsa

"Fenomena putus sekolah tidak bisa dianggap remeh," tegasnya mengingatkan.

Karena itu, lanjut Rerie yang akrab disapa, dibutuhkan penanganan dan solusi yang serius jika bangsa ini ingin mencerdaskan seluruh anak bangsa, meningkatkan kualitas SDM dan menuju pencapaian kesejahteraan nasional.

"Putus sekolah dapat disebabkan berbagai faktor, yakni ketidakinginan individu untuk melanjutkan sekolah, beban belajar yang terlampau berat, kemalasan, masalah finansial rumah tangga, atau masalah lain yang menyebabkan
siswa memutuskan tidak melanjutkan sekolah," bebernya.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu menegaskan keluarga dan lingkungan menjadi pemerhati pertama untuk menyikapi persoalan putus sekolah itu.

Pemerintah, tambah Rerie, melalui setiap inisiatifnya mesti memahami bahwa tidak semua anak memiliki kesempatan yang sama dan dukungan sumber daya yang sama dalam mengenyam pendidikan.

"Seluruh elemen masyarakat, pemerhati pendidikan dan pemerintah harus memiliki political will dalam mewujudkan generasi emas yang berdaya saing melalui membuka seluas-luasnya kesempatan belajar bagi setiap warga negara," tegas Rerie.

Sementara itu, Kapoksi Komisi X Fraksi NasDem DPR Ratih Megasari Singkarru mengungkapkan pada periode 2012-2023 rata-rata peserta didik hanya mengenyam pendidikan delapan tahun.

Bahkan di sejumlah daerah tertentu ada yang hanya tujuh tahun. Padahal penerapan wajib belajar selama 12 tahun.

"Sejumlah kendala menjadi penyebab kondisi tersebut, seperti kondisi ekonomi keluarga, daya tampung sekolah, faktor geografi, pandemi dan pemahaman keluarga tentang pendidikan," ungkap Ratih.

Karena kendala finansial, banyak anak usia sekolah terpaksa bekerja.

Selain itu, tambahnya, daya tampung SMA dan SMK yang terbatas menyebabkan tidak mampu menampung seluruh lulusan SMP.

Demikian juga faktor geografis, dengan kepadatan penduduk yang rendah, ujar Ratih, ada biaya tambahan untuk menuju ke sekolah.

"Padahal dampak putus sekolah akan menyebabkan IPM rendah, pengangguran dan sulit meningkatkan kesejahteraan," tegas Ratih.

Ratih berpendapat semakin terintegrasinya data antarkementerian akan sangat membantu mewujudkan proses pendidikan yang tepat kepada setiap anak bangsa yang membutuhkan.

Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo menyampaikan untuk melihat angka putus sekolah harus dikaitkan secara historis.

Menurut Anindito, jika dibandingkan dengan kondisi 20 tahun lalu, sebenarnya saat ini terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah bahkan mendekati 100 persen..

"Pekerjaan rumah yang masih dihadapi adalah pada jenjang SMA yang hingga saat ini angka partisipasinya baru mencapai 73,15 persen," ungkap Anindito

Pada kesempatan itu, Anindito mengatakan Wajib Belajar 12 tahun sebenarnya masih pada tingkat komitmen, secara undang-undang saat ini yang berlaku adalah Wajib Belajar 9 tahun.

Hal itu terlihat dari realisasi angka partisipasi sekolah di tingkat SMP yang saat ini sudah mencapai 95 persen.

"Saat ini masih terjadi kesenjangan dalam mengakses pendidikan di tanah air dengan berbagai latar belakang kendala yang dihadapi," kata Anindito.

Anindito juga mengatakan pendidikan itu harus dibuat bermakna dan relevan sehingga ketika seorang anak disekolahkan hasilnya mampu memenuhi harapan keluarga mereka.

Program Merdeka Belajar merupakan bagian upaya pemerintah meningkatkan akses untuk memperbaiki kualitas pendidikan.

"Sekolah harus menjadi tempat yang membuka kesempatan pengembangan profil pelajar Pancasila," tegasnya.

Karena itu, lanjut dia, setiap satuan pendidikan harus bertransformasi menjadi lingkungan belajar yang aman, efektif dan menantang.

Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan menilai berdasarkan riset yang dilakukan lembaganya, penyebab putus sekolah tidak semata faktor ekonomi, tetapi juga aspek sosial.

Menurut Halili, saat ini berkembang fenomena sosial yang memperlihatkan hanya dengan memanfaatkan teknologi informasi seseorang mampu menjadi kaya, membuat masyarakat menilai pendidikan tidak penting lagi untuk mewujudkan masa depan mereka.

Halili menyebutkan saat ini masyarakat membutuhkan dorongan agar lebih dekat dengan pendidikan yang mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik.

Wartawan Media Indonesia Bidang Pendidikan, Indrastuti berpendapat faktor sosial dan ekonomi sejak dahulu menjadi faktor pendorong angka putus sekolah, meski sudah ada program Wajib Belajar dan PIP.

"Pertanyaan yang harus diajukan kepada pemerintah, tambah dia, apakah biaya yang dikeluarkan oleh orang tua sebanding dengan output yang diharapkan," terang Indrastuti.

Menurutnya, jika tujuannya agar peserta didik bisa segera bekerja, akan lebih baik diarahkan ke sekolah kejuruan.

"Tentu saja, setiap daerah menghadapi tantangan yang berbeda-beda dalam mewujudkannya," imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Bangsa Ahmad Baedhowi AR berpendapat Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

"Kalau sampai terjadi putus sekolah, kita harus cek di mana pelanggarannya. Apakah struktur anggaran pendidikan kita sehat atau tidak?" ujarnya.

Isu pendidikan, menurut dia, selalu saja dimasukkan dalam diskursus politik. Terminologi sekolah gratis, tegas Baedhowi, tidak tepat.

Seolah hanya pemerintah yang bertanggung jawab dalam membiayai pendidikan, padahal masyarakat juga ikut berkontribusi mewujudkan sekolah gratis.

Wakil Sekjen Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Jejen Musfah berpendapat faktor keterbatasan ekonomi merupakan salah satu penyebab putus sekolah.

Karena itu sebagai solusinya, lanjut Jejen, pemerintah harus mewujudkan sekolah gratis di tanah air, termasuk sekolah madrasah swasta.

Para peserta didik yang tidak mampu dan bersekolah di sekolah swasta juga harus ditanggung oleh negara.

Selain itu, Jejen juga menilai pernikahan dini juga menjadi penyebab terjadinya putus sekolah.

"Saat ini terjadi surplus kebijakan di sektor pendidikan, tetapi lemah dalam implementasi karena tidak ada kolaborasi dan kerja sama yang baik antarpemangku kebijakan," pungkasnya. (mrk/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler