Film itu mengangkat kehidupan masyarakat Atambua, NTT, setelah terjadinya perpecahan politik yang berujung lepasnya Timor Leste dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sekitar 13 tahun lalu.
Menurut Mira, yang menjadi produser, ketika peristiwa tersebut berlangsung, semua mata tertumpu pada Timor. Tapi, kini masyarakat di sana seakan terlupakan. Padahal, masih banyak persoalan sosial yang tersisa.
Misalnya tingginya angka kemiskinan, akses pendidikan yang minim, serta belum meratanya suplai listrik. Belum lagi problem trauma akibat perpecahan politik yang masih ada hingga kini.
”Jadi, saya pikir penting untuk mengingatkan kita bahwa masih banyak saudara kita di sana yang membutuhkan perhatian kita,” papar Mira seusai pemutaran film Atambua 39 Derajat Celsius di gedung PPHUI kemarin (5/11). Meski film berdurasi 90 menit itu menghadirkan persoalan nyata, keduanya mengemasnya dalam sebuah cerita drama keluarga.
”Jadi, ini bukan film dokumenter, ini cerita fiksi yang merekam pengalaman dan persoalan-persoalan di daerah perbatasan Timor Leste,” jelas sineas Riri Riza. Kendati begitu, keduanya sepakat untuk menggunakan bahasa lokal yang disebut bahasa Tetun dalam keseluruhan dialog. Mereka juga menggunakan pemain-pemain yang merupakan warga asli Atambua.
Film itu sendiri berkisah tentang kehidupan Joao dan ayahnya, Ronaldo, yang mengungsi dari Timor Leste 13 tahun lalu dan kini tinggal di Kota Atambua. Joao yang tengah beranjak dewasa sulit berkomunikasi dengan ayahnya yang pemabuk.
Di sisi lain, dia sangat merindukan kehadiran sang ibu yang mereka tinggalkan di Timor Leste. Kedatangan Nikia, seorang perempuan muda yang kembali ke Atambua dari Kupang untuk menyelesaikan makam kakeknya, menggugah perhatian Joao.
Ada tiga pemeran yang menjadi tokoh sentral. Yakni, Gudino Soares yang berperan sebagai Joao, Petrus Beyleto yang memainkan karakter Ronaldo, dan Putri Moruk sebagai Nikia. Audisi para pemain tersebut tidak sama dengan audisi pemain di kota-kota besar. Audisi dilakukan secara lebih personal. ”Saya minta mereka menceritakan pengalaman dan kisah di mana mereka hidup,” ujarnya.
Dari audisi sederhana tersebut, akhirnya terpilih Gudino, yang merupakan pelajar SMK di Atambua. Dia kini baru saja menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. Gudino baru berusia sekitar lima tahun waktu mengungsi bersama keluarganya ke Atambua.
Sementara itu, Petrus adalah seorang pekerja LSM yang aktif di bidang pendidikan, khususnya pendidikan anak usia dini di Atambua. Putri adalah putri seorang polisi di Timor Leste. Mereka sekeluarga harus lari untuk mengungsi dari Timor Leste ke Atambua ketika perpecahan tersebut terjadi.
Gudino mengaku senang bisa terlibat dalam film tersebut. ”Senang sekali karena apa yang orang tonton di sini adalah kehidupan sehari-hari saya,” jelasnya. Sementara itu, Petrus mengaku terharu dengan perannya dalam film tersebut.
”Karena ini untuk pertama kalinya atmosfer film sudah bergulir ke Timor. Kami diberi kesempatan melihat apa yang dipikul masyarakat Atambua,” tegasnya.
Sementara itu, Putri bangga terlibat dalam film garapan Mira dan Riri tersebut karena dirinya akan ditonton orang dari sejumlah negara. Film tersebut memang sudah menyambangi beberapa festival film internasional.
”Saya senang karena wajah saya sudah dikenal di luar negeri. Saya bangga akan Mbak Mira dan Mas Riri. Berkat mereka, Atambua sudah banyak dikenal,” ujar gadis berusia 23 tahun itu. (ken/c11/any)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Judika Ingin Nikahi Duma Riris Tahun Depan
Redaktur : Tim Redaksi