jpnn.com, MAKASSAR - Calon presiden Anies Baswedan menegaskan pentingnya ilmu pengetahuan dan hasil riset serta data valid sebagai basis dalam pengambilan kebijakan.
Hal itu telah dipraktikkan Anies ketika menjadi orang nomor 1 dan memimpin Jakarta selama 5 tahun (2017-2022).
BACA JUGA: Anies Baswedan: Kesetaraan adalah Kunci Persatuan
Capres dari Koalisi Perubahan ini kembali menyinggung soal pentingnya peran ilmuwan dalam pengambilan sebuah kebijakan oleh pemegang kewenangan saat mendapatkan pertanyaan dari peserta Silaknas ICMI di Hotel Four Point by Sheraton, Makassar, Minggu (5/11).
Anies melihat bahwa akhir-akhir ini proses teknokrasi oleh para teknokrat tidak berada paling depan dalam proses penyusunan kebijakan. Sebaliknya, proses politik yang justru lebih dominan.
BACA JUGA: Bunda Jeanette NasDem Yakin Anies-Gus Imin akan Menang di Jatim
Menurutnya, ada tiga aspek dalam manajemen, termasuk sistem pemerintahan. Pertama, power atau politik. Kedua, policy atau kebijakan. Ketiga, political economy, yaitu siapa mendapat apa, kapan, dan dan berapa banyak.
"Dari tiga aspek ini, kami melihat yang di depan seharusnya adalah policy, baru kemudian politics, baru kemudian political economy. Kami menyaksikan ini agak bergeser. Jadi ke depan saya melihat ilmu pengetahuan harus dikembalikan menjadi kompas di dalam menyusun kebijakan-kebijakan," ujarnya
BACA JUGA: Silatnas ICMI: Anies Tegaskan Perubahan Jadi Kunci Pemerataan di Indonesia Timur
Anies menambahkan, hal itu diingatkan (wake up call) saat pandemi mulai awal tahun 2020. Menurutnya, pandemi menjadi ujian bagi semua pemegang kewenangan di seluruh dunia.
Pada saat itu, semua bisa melihat pemegang kewenangan yang menggunakan ilmu pengatahuan dan pemegang kewenangan yang merendahkan ilmu pengetahuan.
"Pada saat pandemi, kita berhadapan dengan tabir ketidaktahuan yang mendadak. Kita ketemu dengan veil of ignorance [tabir ketidaktahuan]. Maka paling gampang dan paling benar merujuk kata ilmuwan."
Anies merasakan di Jakarta saat pengambilan kebijakan dengan merujuk kepada para ilmuwan. "Dan ketemu dengan pemegang kekuasaan lebih tinggi yang tidak menggunakan rekomendasi yang digunakan oleh ilmuwan."
Saat itu, Anies menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sementara pemegang kekuasaan yang lebih tinggi dari gubernur adalah pemerintah pusat atau kabinet yaitu presiden dan para menteri atau para lembaga tinggi negara lainnya.
"Maka, kami melihat ke depan hormati teori, hormati pengetahuan dan tidak boleh lagi pemimpin mengatakan 'ah itu teori yang penting pekerjaannya selesai'.
Pernyataan Anies ini diperkuat oleh Irma Hidayana, Founder Lapor Covid dan Konsultan Kesehatan Publik, yang ikut terlibat dalam mendampingi Pemprov DKI Jakarta saat menangani pandemi Covid-19.
Irma menuturkan, Anies sebagai gubernur mendengarkan hasil riset, kemudian menindaklanjutinya dengan serius. Tidak hanya itu, menurutnya, selama proses riset, Anies sebagai pemimpin turut menggerakkan jajaran di bawahnya agar riset dan studi tentang Covid berjalan dengan baik.
Menurutnya, keberhasilan Pemprov DKI dalam menangani pandemi Covid-19 merupakan bukti pentingnya sosok pemimpin yang mampu menggerakkan sekaligus mendengarkan. (jpnn)
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : JPNN.com