Anies dan Jokowi

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 26 April 2022 – 19:09 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meninjau Sirkuit Formula E di Ancol, Jakarta Utara, Senin (25/4). Foto: Tangkapan layar Biro Pers Sekretariat Presiden

jpnn.com - ‘’Tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan dalam politik. Jika hal itu terjadi maka Anda bisa bertaruh bahwa hal itu direncanakan dengan cara itu.’’ 

Itu adalah ucapan presiden ke-32 Amerika Serikat, Franklin Delano Roosevelt (1882-1945) yang banyak dikutip para politisi sampai sekarang. 

BACA JUGA: Bursa Pilpres 2024: Demokrat Buka Suara Soal Anies-AHY

Dalam berbagai event besar maupun kecil, ungkapan itu memperoleh bukti kebenarannya. 

Tidak ada kebetulan dalam politik, semua dirancang dengan matang. 

BACA JUGA: Jokowi ke Lokasi Formula E, PSI Tetap Bersikap Keras

Kalau toh kemudian terjadi sebuah kebetulan, maka hal itu adalah kebetulan yang direncanakan.

Banyak yang menyebut Anies Baswedan dan Joko Widodo sebagai matahari kembar. 

BACA JUGA: Riza Patria: Kami Bersyukur Pak Jokowi Memberikan Perhatian kepada Formula E

Satu matahari di Balai Kota DKI, satunya matahari di Istana Negara. 

Dua matahari itu kabarnya saling bersaing, atau banyak yang menyebut saling terlibat perang dingin. 

Anies menjadi salah satu front runner, pelari terdepan, pada perhelatan Pilpres 2024, dan Jokowi dikabarkan tidak sreg dengan kemunculan Anies sebagai kandidat presiden.

Namanya juga rumor politik. 

Di mana-mana politik penuh dengan rumor dan spekulasi. 

Bukan politik namanya kalau tidak lekat dengan rumor dan spekulasi. 

Politik juga penuh dengan simbol dan interpretasi. 

Politik adalah seni dari berbagai kemungkinan, the art of possibility. 

Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. 

Tidak ada yang kebetulan dalam politik.

Dua matahari kembar itu bertemu di trek Sirkuit Formula E, Ancol, Senin (25/4) dan berbagai spekulasi pun bermunculan.

Tentu pertemuan ini bukan sebuah kebetulan. 

Presiden Jokowi sudah merencanakannya sejak awal. 

Meski begitu, pertemuan ini tetap dianggap sebagai kejutan politik penting pekan ini.

Dalam dua minggu terakhir Jokowi aktif melakukan safari ke berbagai daerah dan bertemu dengan banyak orang. 

Dalam kunjungan ke Madura pekan lalu, Jokowi didampingi oleh Menhan Prabowo Subianto. 

Ketika berkunjung ke Jawa Tengah, Jokowi bertemu dengan Gubernur Ganjar Pranowo.

Ketika bermuhibah ke Jawa Barat, Jokowi bertemu dengan Gubernur Ridwan Kamil.

Mereka semua adalah nama-nama yang selama ini menjadi front runner dalam berbagai survei calon presiden 2024. 

Dalam setiap kesempatan itu, Jokowi menunjukkan kedekatan dan keakraban dengan para front runner itu. 

Dalam kunjungan ke Madura, Jokowi sempat bercanda dengan masyarakat yang menyambutnya dengan menanyakan apakah mengenal siapa yang berada di samping presiden. 

Ketika itu. Prabowo berdiri takzim sambil ngapurancang di sebelah Jokowi. 

Beberapa warga menjawab dengan menyebut nama Prabowo. 

Jokowi pun tersenyum sambil berlalu. 

Mungkin warga kecewa karena mengira akan dapat hadiah sepeda setelah bisa menebak dengan tepat.

Dalam kunjungan ke Jawa Tengah, Jokowi juga berbincang akrab dengan Ganjar Pranowo. 

Semua mafhum Jokowi punya kedekatan khusus dengan Ganjar karena sama-sama kader PDIP dan sama-sama menjadi petugas partai. 

Disebut-sebut bahwa Jokowi sudah mempersiapkan Ganjar sebagai ‘’putra mahkota’’. 

Namun, setelah muncul kasus Wadas, nama Ganjar menjadi agak redup, meskipun masih tetap konsisten dalam tiga besar di setiap survei.

Dalam kunjungan ke Jawa Barat, Jokowi juga berbincang-bincang akrab dengan Ridwan Kamil. 

Dibanding kandidat bakal calon presiden lainnya, nama RK relatif agak ketinggalan dan tidak pernah menembus 3 besar. Akan tetapi, sebagai gubernur di daerah dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, potensi RK tidak bisa diabaikan. 

Jokowi tentu memahami hal itu dan karenanya dia juga terlihat akrab dan dekat dengan RK.

Anies Baswedan berbeda dari para kandidat lainnya. 

Selama ini Anies dianggap sebagai ‘’direct competitor’’ atau pesaing langsung Jokowi. 

Hubungan dua matahari itu tidak nyaman. 

Dalam Pilpres 2014, Anies bergabung ke pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. 

Secara ideologis, Anies memang tidak sepenuhnya berada pada kubu Jokowi. 

Akan tetapi, ada Jusuf Kalla yang membawa Anies ke kubu itu.

Keterampilan komunikasi Anies membawanya menjadi juru bicara Jokowi-JK. 

Sebuah tugas yang dia lakukan dengan baik. 

Anies luwes menghadapi media dan pintar menyusun narasi sehingga pas dengan kemauan para bosnya. 

Anies bukan sekadar jubir, tetapi, meminjam istilah Bung Karno, penyambung lidah Jokowi-JK.

Ketika Jokowi-JK menang Anies ikut mendapatkan reward sebagai menteri pendidikan, sebuah ganjaran yang layak untuk kerja dan kontribusi terhadap pasangan selama pilpres. 

Menjadi menteri pendidikan adalah portofolio yang tapat untuk Anies. 

Kiprahnya di dunia pendidikan sangat meyakinkan. 

Dia pernah menjadi rektor Universitas Paramadina dan mendirikan LSM Indonesia Mengajar.

Kinerja Anies bagus selama menjadi menteri. 

Kalau ada semacam rapor bagi menteri nilai Anies selalu A. 

Akan tetapi, itu tidak menjamin Anies tetap bisa bertahan di kabinet. 

Dalam sebuah gelombang reshuffle, nama Anies ikut hilang tersapu gelombang. 

Jokowi sudah mulai berhasil mengonsolidasikan kekuatannya dan sudah mulai memetakan siapa-siapa saja yang berpotensi mengancam posisinya pada pemilu berikut. 

Anies masuk dalam kategori itu, dan karena itu tidak boleh diberi panggung di kabinet.

Lepas dari kabinet Anies maju di pilgub DKI pada 2016. 

Untuk kali pertama dalam sejarah republik, persaingan memperebutkan kursi gubernur berlangsung begitu kerasnya sampai terjadi polarisasi yang membelah publik. 

Pada masa pilgub inilah muncul polarisasi cebong vs kampret yang merepresentasikan persaingan nasionalis vs agamis.

Anies Baswedan vs petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi persaingan politik paling keras dan paling seru dalam sejarah republik. 

Sebagai petahana, Ahok diunggulkan. Gaya politiknya yang menyala-nyala banyak menarik perhatian pemilih. 

Sementara Anies lebih memilih pendekatan yang anteng dan adem. 

Persaingan Anies vs Ahok ibarat air melawan api.

Jokowi tentu mendukung Ahok. Hubungan keduanya sangat dekat ketika sama-sama maju sebagai pasangan gubernur-wakil gubernur DKI 2011. 

Paduan Jokowi-Ahok dianggap sebagai kombinasi yang pas sehingga bisa mengalahkan petahana Fauzi Bowo. 

Pasangan ganda Jokowi-Ahok bahkan digadang-gadang bakal menjadi pasangan presiden-wakil presiden di masa datang.

Kemunculan Anies merusak skenario itu. Benarlah kata Roosevelt, tidak ada yang kebetulan. 

Ahok terpeleset oleh insiden Surat Al-Maidah dan masyarakat Jakarta untuk kali pertama dalam sejarah menyelenggarakan rally politik akbar yang kemudian dikenal sebagai gerakan ‘’212’’.  

Anies menang dan Ahok masuk penjara.

Polarisasi berlanjut pada pilpres 2019. Jokowi-Ma’ruf Amin menghadapi Prabowo-Sandiaga Uno. 

Kali ini ‘’polarisasi kaceb’’ kadrun vs cebong dimenangkan oleh cebong. 

Jokowi menang dan Prabowo masuk ke dalam kabinet. 

Polarisasi seharusnya selesai karena tidak ada lagi oposisi.

Akan tetapi yang terjadi kemudian polarisasi masih terus terjadi. 

Prabowo sudah masuk kabinet, Sandiaga juga menyusul.

Sumber oposisi sudah bisa dikendalikan karena partai-partai politik sudah mendapatkan PW alias ‘’posisi wenak’’, duduk manis bersama penguasa.

Akan tetapi, rupanya muncul oposisi baru dalam bentuk ‘’indirect oposition’’ oposisi tidak langsung. 

Sumbernya bukan dari gedung dewan di Senayan atau dari partai politik, tetapi dari Balai Kota DKI. 

Anies dianggap sebagai simbol oposisi tidak langsung itu.

Anies tidak pernah melawan secara frontal, malah sebaliknya Anies selalu kompromistis. 

Anies tidak mengambil posisi antagonistis atau menjadi ‘’oposisi biner’’. 

‘’Perlawanan’’ Anies adalah perlawanan dialektika antara tesis melawan antitesis yang melahirkan sintesis baru.

Dialektika Anies itu membuat kredibilitasnya sebagai indirect opposition makin kuat. 

Berbagai survei menunjukkan makin kokohnya posisi Anies sebagai ‘’the real contender’’ pada 2024. 

Anies menjadi salah satu front runner paling potensial pada 2024.

Jokowi adalah antitesis yang menjadi sintesis baru dari fenomena Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Anies juga punya potensi menjadi sintesis baru dari fenomena Jokowi. 

Kemunculan SBY menandai siklus baru pasca-reformasi. 

Kemunculan Jokowi menandai siklus baru pasca-SBY, dan setelah 10 tahun akan muncul lagi siklus baru dalam jagat politik Indonesia.

Anies punya peluang untuk menjadi tokoh baru dalam siklus baru itu. 

Jokowi tentu tahu akan hal itu, dan dia tidak ingin melawan siklus. 

Jokowi memilih untuk bersikap akomodatif terhadap kemunculan siklus baru itu. 

Roosevelt sekali lagi benar. Tidak ada yang kebetulan dalam politik. Semua dirancang supaya terlihat sebagai sebuah kebetulan. (*)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler