jpnn.com, JAKARTA - Oleh: William Henley (founder IndoSterling Group)
BACA JUGA: UMKM Perlu Pendampingan Agar Lebih Maju dan Produktif
Beberapa hari lalu, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin merilis Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Beleid yang dikenal dengan sebutan PP e-commerce itu bertujuan untuk menghadirkan level of playing field yang sama antara perdagangan online dan offline dari berbagai sisi.
BACA JUGA: Perum Jamkrindo Tumbuhkan Peluang Baru Bagi UMKM
Salah satu ketentuan krusial dalam PP Nomor 80/2019 adalah kewajiban pelaku usaha yang terlibat dalam e-commerce untuk memiliki subjek hukum yang jelas, salah satunya berkaitan dengan izin usaha.
Hal itu tertuang dalam Pasal 9 beleid yang mengacu kepada UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan tersebut.
Baru saja PP diterbitkan, kritik sudah dilayangkan sejumlah kalangan, terutama dari Indonesia E-commerce Association (idEA).
Ketua idEA Ignatius Untung menegaskan sosialisasi PP Nomor 80/2019 tidak jelas. Menurut dia, pemerintah harus memperhitungkan dampak aktivitas e-commerce kepada perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Di sisi lain, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengklaim PP Nomor 80/2019 tidak akan menyulitkan pelaku usaha yang didominasi kalangan usaha mikro, kecil, dan menengah itu.
Kementerian Perdagangan juga sudah menyiapkan aturan turunan PP itu dalam bentuk peraturan menteri perdagangan.
Lalu, bagaimana jalan tengah terbaik usai penerbitan PP Nomor 80/2019?
Potensi besar
Revolusi industri 4.0 telah mengubah segala aspek di dunia, termasuk dari sisi ekonomi. Banyak cara-cara lama yang tidak lagi relevan dengan kondisi kekinian.
Tidak terkecuali dalam konteks perdagangan yang mulai bergeser ke arah e-commerce.
Semua tak lepas dari potensi besar niaga-el di dunia. Mengutip data yang dipaparkan Kementerian Perdagangan dalam Forum E-Commerce Indonesia 2019 di Jakarta, Senin, 9 Desember 2019, potensi e-commerce dunia diramal mencapai USD ,6,53 triliun atau Rp 91,5 kuadriliun pada 2023.
Khusus untuk Indonesia, gross merchandise value (GMV) atau total transaksi e-commerce di tahun ini diperkirakan USD 21 miliar atau Rp 294 triliun. Dalam enam tahun ke depan, nilai itu proyeksikan menembus USD 82 miliar atau Rp 1.100 triliun!
Proyeksi-proyeksi tersebut bukan kaleng-kaleng. Salah satu faktor penunjang adalah penetrasi internet di tanah air yang terus melesat. Tahun lalu saja, sudah 171,17 juta jiwa yang menggunakan internet. Jumlah ini dipastikan akan terus meningkat seiring pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang dilakukan pemerintah.
Belum lagi jumlah pelaku UMKM di Indonesia yang mencapai 59,2 juta pelaku usaha. Dari jumlah itu, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mencatat 3,79 juta sudah memanfaatkan platform online dalam memasarkan produk mereka (kominfo.go.id).
Data dan fakta itu membuat pemerintah merasa perlu membuat payung hukum yang dapat mengakomodasi perkembangan e-commerce.
Dengan kejelasan aturan main dan kesempatan berusaha, maka Kementerian Perdagangan mengharapkan pemain lokal semakin percaya diri untuk turut bersaing memperoleh keuntungan berdagang dari tren e-commerce yang semakin meningkat.
Penulis pun memiliki pandangan senada berkaitan dengan filosofi itu. Sederhana. Semua itu tertuang dalam sila kelima dalam Pancasila yang berbunyi "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia".
Pemerintah, dalam konteks ini, ingin menghadirkan level of playing field yang sama antara e-commerce dengan perdagangan secara offline.
Namun, ada sejumlah catatan yang harus diperhatikan berkaitan dengan ketentuan dalam PP Nomor 80/2019.
Penulis menekankan kepada aspek kewajiban pelaku usaha memiliki subjek hukum yang jelas, salah satunya berkaitan dengan izin usaha.
Dari satu sisi, kejelasan izin usaha ini penting. Sebab, keberadaan aspek itu memungkinkan pelaku usaha, terutama UMKM, mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Keberadaan NPWP bakal memudahkan pelaku UMKM memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan resmi, terutama perbankan, demi meningkatkan skala usaha mereka.
Akan tetapi, proses pedagang daring memperoleh izin usaha jangan dipersulit atau harus dipermudah sebagaimana janji menteri perdagangan.
Mengapa? Sudah bukan rahasia umum apabila perizinan merupakan salah satu 'ladang' pungutan liar. Istilahnya, kalau tak ada pelicin, maka proses akan dipersulit.
Tentu amat disayangkan apabila niat mulia pemerintah melalui PP Nomor 80/2019 dirusak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Untuk itu, pemerintah harus menjamin agar proses penerbitan izin usaha bebas pungli. Saber Pungli yang berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan dapat dilibatkan.
Dengan demikian, izin yang dibutuhkan terbit dengan cepat sehingga membuat pelaku usaha leluasa menjalankan usaha. Keuntungan demi keuntungan pun, misalnya dari sisi perpajakan, juga dapat mereka peroleh setelahnya.
Aturan turunan dan sosialisasi
Sebagaimana biasa, penerbitan PP akan diikuti oleh penerbitan peraturan di level kementerian/lembaga. Aturan turunan tentu memuat hal-hal teknis yang berkorelasi dengan PP tersebut.
Hal ini berlaku juga dalam peraturan turunan PP Nomor 80 Tahun 2019 yang sedang disiapkan oleh pemerintah.
Yang pasti, menurut penulis, aturan-aturan turunan itu harus mampu menjelaskan secara perinci perihal aspek-aspek penting dalam PP Nomor 80/2019. Misalnya soal izin usaha.
Apakah izin usaha itu hanya berlaku untuk pedagang baru? Bagaimana dengan pedagang lama yang sudah berdagang melalui platform e-commerce? Bagaimana dengan mereka yang hanya iseng coba-coba jualan lewat platform e-commerce?
Sejatinya, masih banyak lagi pertanyaan yang harus dijawab melalui aturan-aturan turunan PP Nomor 80/2019. Dengan demikian, saat penerapan nanti, tidak akan ada kebingungan baik dari sisi pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, hingga manajemen platform e-commerce.
Hal berikut yang tidak kalah penting adalah sosialisasi. Tidak ada yang salah apabila pemerintah mengajak idEA untuk turut serta mengajak mereka. Sebab, di dalam idEA berhimpun sosok-sosok andal dalam manajemen perusahaan platform e-commerce.
Sosialisasi ini penting agar tidak ada kesalahpahaman terhadap niat pemerintah menghadirkan level of playing field yang sama terhadap pelaku usaha online maupun offline.
Sosialisasi juga dapat dilakukan dengan mengajak sosok-sosok berpengaruh seperti influencer.
Publik perlu diberi pemahaman bahwa PP Nomor 80/2019 dapat meningkatkan kapasitas usaha mereka yang berdagang melalui platform e-commerce.
Edukasi dapat dilakukan dengan menghadirkan konten-konten sederhana yang dapat memotivasi mereka.
Berikan pula pemahaman bahwa berjualan di media sosial tidak menguntungkan ketimbang platform e-commerce. Sebab, PP Nomor 80/2019 menjanjikan perlindungan konsumen dari penipuan dan hal-hal negatif yang sering terjadi jika transaksi dagang dilakukan melalui media sosial.
Pada akhirnya, penulis berharap ikhtiar pemerintah ini bisa berjalan dengan baik. Butuh kerja sama semua pihak. Muara dari semua ini adalah semakin melesatnya perdagangan Indonesia sehingga berkontribusi kepada perekonomian tanah air secara keseluruhan. (jos/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ragil