Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengaku masih menunggu laporan dari Panitia Pemilihan Umum Luar Negeri (PPLN) sebelum mengambil keputusan untuk menindaklanjuti laporan kasus kisruh ratusan warga yang tidak bisa mencoblos di sejumlah negara. Pemungutan suara di luar negeri
BACA JUGA: Perjumpaan Nenek-Cucu Setelah 5 Tahun Terpisah Akibat Rezim ISIS
Ketua KPU, Arif Budiman di Jakarta mengatakan pihaknya belum bisa memutuskan apakah akan melakukan pemilu ulang atau susulan di sejumlah tempat pemungutan suara (TPS) di luar negeri dimana ratusan warga protes karena belum bisa menggunakan hak suaranya.
Terutama di Sydney, Australia dan Hongkong.
BACA JUGA: Pengakuan Anak-anak Teroris ISIS Asal Australia
KPU menurutnya memerlukan laporan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) untuk merumuskan putusan yang tepat untuk merespon kasus kisruh tersebut.
"Sejak ada berita soal kejadian di beberapa TPS itu saya sudah minta pada PPLN agar berkordinasi dengan Bawaslu dan meneliti apakah ada ketentuan yang dijalankan tidak sesuai, kemudian kalau tidak sesuai ada pasal yang mengatur apakah pemilunya bisa dilanjutkan atau pemilunya susulan sambil mengecek ketersediaan logistiknya." kata Arif Budiman dalam rapat koordinasi persiapan pemilu di kantor Menkopohukam Jakarta hari Senin (15/4/2019).
BACA JUGA: Pemilih Cuma 24 Orang, Kotak Suara Pemilu 2019 di Korea Utara Diawasi CCTV
Pelaksanaan pemungutan suara bagi WNI di luar negeri dilakukan lebih awal pada tanggal 8-14 April kemarin.
Sejumlah masalah muncul mulai dari dugaan temuan surat suara yang sudah tercoblos di Malaysia, ratusan WNI yang tidak terakomodir di sejumlah negara, hingga beredarnya hoaks perhitungan suara di sejumlah negara yang memenangkan salah satu paslon.
Meski demikian KPU menegaskan pemungutan suara di luar negeri yang dilangsungkan lebih awal pada tanggal 8 hingga 14 April 2019 berlangsung baik.
Kisruh yang terjadi tidak berlangsung massif, tapi hanya di beberapa wilayah, seperti Sydney, Kuala Lumpur, Osaka, dan Hong Kong
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi menilai penyebab kisruh ini adalah melonjaknya jumlah pemilih yang berkategori daftar pemilih khusus atau DPK yakni mereka yang memilih dengan hanya menggunakan KTP elektronik dan paspor saat pemungutan suara dan mencoblos pada satu jam sebelum berakhirnya waktu pemungutan suara.
"Iya, salah satunya jumlah DPK yang membeludak pada saat pemungutan suara," ujar Pramono di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta, Senin (15/4/2019).
Pramono mengatakan meski legal untuk memilih, persoalannya, pelayanan terhadap DPK juga bergantung pada kelebihan surat suara di suatu TPS
Sementara, jatah surat suara di setiap TPS hanya ditentukan berdasarkan rumus jumlah DPT ditambah 2 persen dari jumlah DPT.
Berdasarkan data Migrant Care dan BNP2TKI, jumlah TKI di luar negeri sekitar 2-4 juta orang, Sementara DPT di luar negeri hanya 2 juta.
"Ketika jumlah pemilih DPK itu tidak terantisipasi karena surat suara berdasarkan DPT plus 2 persen. Begitu DPK-nya membludak, surat suara tidak tercukupi," katanya.Kisruh di Hong Kong dan Malaysia Photo: Foto dari bagian dalam ruangan yang menjadi TPS di Wanchai, Hongkong menunjukan banyak bilik suara kosong. Sementara ratusan warga dibiarkan mengantri kehujanan di luar gedung. (Supplied)
Di Hong Kong misalnya, pada hari pencoblosan Minggu (14/4/2019) ratusan pemilih di TPS yang terletak di distrik Wancai marah karena tidak bisa memberikan suara karena PPLN menutup TPS dengan alasan waktu pencoblosan sudah berakhir padahal mereka telah dan mengantri sejak pagi.
Di lini masa beredar video sejumlah pemilih yang tampak emosi melabrak petugas PPLN karena tidak bisa mencoblos.
Mereka mengecam kinerja PPLN yang lamban dan membiarkan warga antri berjam-jam di luar sementara ruangan yang digunakan sebagai TPS tampak sepi.
Dan setelah pukul 19.00, TPS langsung ditutup dengan alasan waktu pemungutan suara sudah habis.
Dalam video itu terlihat juga polisi Hong Kong menengahi keributan itu.
Seorang buruh migran di Hong Kong Rina Fadhilah mengatakan kejadian seperti itu hanya terjadi di TPS Wancai saja.
Karena di dua TPS lainnya di Hong Kong, yakni di Tsim Tsatsui dan Yuen Long pemungutan suara berlangsung lancar dan semua warga diberi kesempatan untuk mencoblos.
"Cuma di Wanchai yang dibatasi tutup sampai jam 19.00 tepat, Di dua TPS lain, semua warga bisa mencoblos. Teman saya keluar selesai mencoblos pukul 20.00 malam. Kami mempertanyakan ini, padahal kotak suara paling banyak justru ada di TPS Wanchai." External Link: twitter kisruh di hongkong
Namun Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Hong Kong dan Panwaslu LN Hong Kong menepis kabar ada WNI yang dilarang mencoblos.
Dalam pernyataan bersama yang diteken Ketua PPLN Hong Kong Suganda Supranto dan Ketua Panwaslu LN Hong Kong Fajar Kurniawan, Senin (15/4/2019), dijelaskan bahwa proses pencoblosan di Hong Kong pada Minggu (14/4) berlangsung pada pukul 09.00-19.00 waktu setempat.
Sebelum menutup antrean pada pukul 19.00, tim yang berada di lokasi menyisir sekaligus memastikan tidak ada lagi calon pemilih yang tertinggal. Sekitar pukul 19.15, seluruh calon pemilih berada di gedung.
Namun setelah proses pemungutan suara selesai sekitar pukul 20.30 sekelompok massa (berjumlah sekitar 20-an orang) memaksa masuk ke TPS 10 untuk melakukan pencoblosan.
"Sebagian orang dari sekelompok massa tersebut memang telah terlihat di dalam sekitar gedung sejak pagi hari," jelasnya.
Dan merujuk pada peraturan KPU tersebut di atas, PPLN dan Panwaslu LN Hong Kong sepakat untuk tidak mempersilakan sekelompok massa tersebut untuk mencoblos.
Sebelumnya kasus pencoblosan di Malaysia juga diwarnai kekisruhan serupa, Pembatalan 225 TPS yang tersebar di 89 titik lokasi membuat massa pemilih terkonsentrasi di 3 titik lokasi pencoblosan yakni di KBRI Kuala Lumpur, Wisma Duta (Kediaman Dubes) dan Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL).
Abdul Rahman, seorang WNI yang berdomisili di Selangor, Malaysia menuturkan petugas PPLN di Kuala Lumpur lamban mengantisipasi membludaknya pemilih.
"Kondisi pengawalan yang kurang siap, terjadilah antrian yang lama hingga mendorong kericuhan. Sebagian warga yang tidak sabar juga memilih tidak menggunakan suaranya alias golput." kata aktifis perlindungan buruh migran tersebut.
Abdul Rahman mengatakan pemberitahuan pembatalan ratusan TPS yang mendadak ini membuat kubu 1 sangat dirugikan.
"Pemberitahuan mendadak membuat banyak pendukung 01 yang tidak bisa datang ke 3 TPS yang ditentukan karena lokasi mereka jauh. Sementara kubu 02 melakukan mobilisasi pendukung dengan menyediakan bus yang akan mengantar mereka ke lokasi TPS sejak jauh-jauh hari," tambahnya Antusiasme warga tinggi Photo: WNI di salah satu TPS di Hongkong rela mengantri berjam-jam untuk bisa menggunakan hak pilih mereka. (Supplied: Rina Fadhilah)
Tingkat partisipasi warga dalam pemilu 2019 kali ini tampak meningkat dibandingkan dengan pemilu 2013 lalu. Di beberapa negara seperti tingkat partisipasi bahkan ada yang mencapai 100% di Korea Utara dan 95% di Budapest Hongaria.
Di Belanda, warga yang menggunakan hak suaranya naik 2 kali lipat dibandingkan pilpres 2014 lalu.
Polarisasi dan sengitnya pertempuran kedua kubu capres dan cawapres yang berlangsung did alam negeri diakui sangat besar pengaruhnya dalam mendorong kesadaran politk WNI. Seperti dituturkan Rina Fadhilah yang sudah bekerja di Hong Kong sejak 2013 lalu.
"Banyak yang dulu golput sekarang mencoblos, ini akibat media sosial juga, semua orang kan pakai medsos jadi lantaran sangat santer dibahas semua yang terjadi di Tanah Air, semua orang jadi peduli dan tertarik soal politik." tutur perempuan asal Wonosobo, Jawa Tengah.
Ia menambahkan masa kampanye pemilu 2019 di Hong Kong juga berlangsung meriah.
"Setiap pekan entah dari kubu 01 maupun 02 pasti menggelar acara untuk memeriahkan pemilu." tutupnya.
Sementara di Malaysia, isu temuan surat suara yang sudah tercoblos juga tidak mempengaruhi antusiasme warga.
Sebaliknya malah mendorong pendukung kedua kubu capres dan cawapres semakin bersemangat untuk mengerahkan pendukungnya ke TPS.
"Selain sengitnya kontestasi, peranan relawan yang bergerak di akar rumput juga sangat berpengaruh." kata pria asal Sampang, Madura, Jawa Timur tersebut.
Sementara itu, untuk mengantisipasi kisruh serupa terjadi dalam pemungutan suara di tanah air yang akan digelar serentak pada 17 April mendatang, sejumlah tokoh meminta KPU bersikap fleksibel terkait aturan waktu pemungutan suara.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pemilu 2019 lebih rumit sehingga warga butuh waktu mencoblos yang lebih lama.
"Ini efek yang sudah diperkirakan bahwa Pemilu kita begitu rumit. Butuh waktu yang lama, setidaknya butuh waktu 12-15 menit untuk satu orang [karena banyaknya surat suara yang harus dicoblos].
"Karena TPS kurang, lama orang di bilik. Itu masih bagus di luar negeri cuma empat [kertas suara]. Di kita [17 April mendatang harus mencoblos] lima," katanya.
Simak berita-beirta ABC Indonesia lainnya di sini
BACA ARTIKEL LAINNYA... Antusias Tinggi WNI di Australia Untuk Mencoblos, Masih Antri Hingga Malam Hari