Antisipasi Calon Tunggal di Pilpres 2019

Rabu, 11 Januari 2017 – 08:15 WIB
Fadli Zon. Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - jpnn.com - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) masih berlangsung di DPR.

Salah satu yang menjadi perhatian adalah pengaturan pemilihan presiden. Hampir semua sepakat bahwa munculnya calon tunggal dalam pilpres harus diantisipasi lewat peraturan baru itu.

BACA JUGA: Ini Mekanisme Menyoblos di Pilkada Calon Tunggal

Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan, pansus RUU Pemilu masih mengategorikan isu-isu yang ada.

Menurut dia, dengan cara seperti itu, akan mudah memetakan persoalan yang muncul dalam penyusunan undang-undang tersebut.

BACA JUGA: Calon Tunggal, KPU Sosialisasi Cara Pencoblosan

Dalam minggu ini, terang dia, para fraksi akan menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) . Dari seluruh DIM itu, akan diketahui masalah apa saja yang dibahas.

DIM juga berisi masukan dan usulan dari semua fraksi. Dia berharap pembahasan undang-undang baru bisa selesai secepatnya. ’’Mei mendatang sudah bisa selesai,’’ terang dia saat ditemui setelah rapat paripurna di gedung dewan kemarin (10/1).

Anggota Pansus RUU Pemilu dari PPP Achmad Baidowi menyatakan, fraksinya sudah siap menyerahkan DIM. Salah satu persoalan yang diperhatikan adalah pilpres.

Selain keserentakan waktu sebagai amanat dari putusan MK, pengaturan pilpres harus mengantisipasi munculnya capres tunggal.

’’Masalah itu sudah kami cantumkan dalam DIM Fraksi PPP,’’ ucapnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.

Dia menyatakan, jika mengacu pada pelaksanaan pilkada serentak yang tahun ini memasuki gelombang kedua, fenomena calon tunggal naik cukup signifikan.

Tidak tertutup kemungkinan hal itu juga terjadi pada Pilpres 2019. Untuk itu, fraksinya mengusulkan agar persoalan tersebut mendapat perhatian serius dalam pembahasan RUU Pemilu.

Awiek, sapaan akrab Achmad Baidowi, menyatakan, jika dalam pilpres nanti muncul calon tunggal, pemungutan suara tetap bisa dilaksanakan. Yaitu, melawan kotak kosong dengan syarat kemenangan lebih dari 50 persen.

Selain itu, PPP mengusulkan syarat pengajuan pasangan capres adalah 25 persen kursi dan 30 persen suara hasil Pemilu 2014.

’’Syarat itu diperlukan untuk menghasilkan koalisi pemerintahan yang kuat dalam sistem presidensial,’’ ungkap Awiek.

Pengamat politik Lembaga Survei Indonesia (LSI) Dodi Ambardi mengatakan, pembahasan menyangkut capres tunggal penting untuk dimasukkan dalam RUU Pemilu. Hal itu diperlukan sebagai antisipasi sebagaimana terjadi dalam pelaksanaan pilkada.

’’Sebagai kemungkinan, bisa saja RUU Pemilu mengantisipasinya,’’ ujarnya kepada Jawa Pos di Jakarta kemarin (10/1). Sebab, jika nanti terjadi calon tunggal, tidak terjadi kekosongan hukum.

Meski demikian, Dodi memprediksi capres tunggal tidak terjadi pada Pemilu 2019. Sebab, dia melihat banyak orang, khususnya yang duduk di ketua umum partai politik, yang ingin mencalonkan diri. ’’Di luar partai pun banyak yang ingin jadi capres,’’ imbuhnya.

Sedikitnya calon dalam dua pemilu terakhir, menurut dia, tidak disebabkan minimnya minat seseorang menjadi presiden. Melainkan disebabkan elektabilitasnya yang rendah.

Selain itu, lanjut dia, potensi peniadaan presidential threshold (PT) sebagai konsekuensi pemilu serentak bisa mendongkrak semangat politisi untuk maju dalam kontestasi. Mengingat, akses untuk maju pada pilpres semakin terbuka.

Secara pribadi, Dodi menilai PT memang sudah tidak relevan untuk diterapkan. Sebab, jika diterapkan, hal itu tidak sesuai dengan semangat keserentakan.

’’Kalau threshold didasarkan pada kursi dan perolehan suara pemilu lima tahun sebelumnya, itu tak mencerminkan data distribusi suara yang paling mutakhir,’’ tuturnya.

Hingga awal 2017 ini, nama-nama yang diprediksi dalam kontestasi RI-1 belum banyak muncul. Praktis, hanya Jokowi (Golkar, Hanura) dan Prabowo Subianto (Gerindra) yang sudah digadang-gadang partai pendukungnya. Di luar itu, hanya ada nama Hary Tanoesoedibjo dengan partai barunya, Perindo. (lum/far/c19/fat)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler