Antisipasi Dampak Rupiah Loyo

Oleh: Said Abdullah - Ketua Badan Anggaran DPR RI

Selasa, 18 Juni 2024 – 18:06 WIB
Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah sekaligus Ketua Bidang Perekonomian DPP PDI Perjuangan. Foto: Dokumentasi Pribadi

jpnn.com - Sejak The Fed, Bank Sentral Amerika Serikat memberlakukan suku bunga tinggi sebagai respons atas inflasi tinggi akibat kenaikan harga komoditas global.

Pasalnya, Perang Rusia dan Ukraina yang berkecmuk berdampak pada sejumlah mata uang lokal mengalami tekanan hebat, di antaranya Lira, Yen, Won, Bath, Real, Peso hingga Rupiah. Semuanya terjerembab.

BACA JUGA: Ketua Banggar DPR Sebut APBN 2025 Disahkan Sebelum Prabowo Jadi Presiden, Begini Catatannya

Years to date, Rupiah di level Rp 15.317 - 16.483/ US Dolar. Dibandingkan dengan tahun lalu, posisi rupiah malah minus 5,25 persen.

Kecenderungan rupiah loyo disebabkan situasi eksternal dan internal. Belakangan investor menarik diri, khususnya dalam perannya sebagai buyer di Surat Berharga Negara (SBN).

BACA JUGA: Ketua Banggar DPR Sebut Tak Ada Swasembada Beras di Masa Presiden Jokowi, Nih Datanya

Investor asing melepas SBN sejak pandemi covid19. Pada tahun 2019, porsi asing dalam SBN sebanyak 38,5 persen, setahun kemudian tinggal 25,1 persen, dan akhir Mei 2024 tersisa 14 persen.

Perginya investor asing pada SBN mengakibatkan kepemilikan US Dolar (USD) juga kian menurun.

BACA JUGA: Pagi ini Rupiah Melemah Rp16.368 per Dolar AS

Musabab lainnya, harga komoditas ekspor andalan Indonesia seperti batubara, dan CPO pada tahun 2023 dan 2024 tidak setinggi tahun 2022.

Sejak pertengahan tahun 2023 hingga kini harga batubara hanya dikisaran 120 an USD/ ton, padahal awal kuartai II 2022 hingga kuartail I 2023 harga batubara dilevel 400 USD/ton.

Demikian halnya dengan harga CPO yang tidak se cuan tahun 2022. Harga CPO di tahun 2022 dilevel 4.200-4.400 Ringgit/ton, sedangkan kini hanya 3.800-3.900 Ringgit/ton.

Menurunnya dua komoditas andalan Indonesia ini tidak membuat dompet devisa negara tebal.

Di saat yang sama, pemerintah malah membuka kran impor. Besarnya arus impor ini membuat arus USD makin pergi.

Bukan hanya rupiah yang terpukul karena meluaskan kran impor, sejumlah industri dalam negeri seperti tekstil malah gulung tikar dan merumahkan karyawannya.

Dari sisi eksternal, perekonomian Amerika Serikat (AS) perlahan lahan makin membaik sejak badai inflasi di tahun 2022.

Penguatan perekonomian AS ini membuat investor memilih meninggalkan Indonesia, akibatnya tiada pundi pundi devisa baru.

Akibat situasi di atas, tahun lalu saja current account Indonesia defisit 1,6 USD Billion.

Bahkan food trade deficit Indonesia pada tahun 2023 menyentuh 5,3 USD Billion, angka tertinggi selama republik ini berdiri.

Hendaknya kita juga jangan terlena dengan data inflasi rendah di level 3 persen.

Sebab inflasi rendah semata mata tidak bisa kita baca sebagai terkendalinya harga kebutuhan pokok rakyat.

Jika disandingkan dengan sejumlah data lainnya seperti berlanjutnya keputusan sejumlah industri merumahkan karyawan, tingkat konsumsi rumah tangga pada tahun 2023 dan berjalan 2024 tidak setinggi tahun 2022.

Survei tingkat penjualan eceran jenis sandang oleh BI sejak pandemi di tahun 2020 sampai sekarang belum pulih masih did level 51,8 – 57, sedangkan periode sebelum pandemi di kisaran  150 – 240.

Data ini memperlihatkan, daya beli rakyat sedang tidak baik baik saja.

Menghadapi situasi ini, kita sebagai bangsa harus bersatu. Keadaan kedepan yang kita akan hadapi tidak akan mudah.

Hampir dipastikan The Fed masih akan bertahan di suku bunga tinggi, dan ketidakmenentuan geopolitik global, yang akan mendorong kebijakan restriktif oleh masing masing negara, demi mengamankan kepentingan nasional mereka masing masing.

Oleh sebab itu, segenap kekuatan bangsa harus bersama sama mengikatkan tali gotong royong.

Di lain pihak, pemerintah harus mampu meningkatkan kepercayaan rakyat. Ucapan dan tindakan pemerintah dan pemimpin nasional harus bisa menjadi keteladanan dalam rangka membangun kepercayaan rakyat.

Tragisnya, menghadapi situasi sulit, para pemimpin dan elit politik makin centang perenang.

Ke depan, situasi kita tidak mudah, dan harus menjadikan keadaan itu sebagai national bonding.

Kesampingkan terlebih dahulu kepentingan kepentingan sesaat, di antara para elite.

Sebab jika keadaan ekonomi ini makin memburuk, lagi-lagi yang akan menerima risiko paling awal adalah rakyat kita sendiri.

Saya benar-benar mengharapkan pemangku kebijakan untuk tidak membuat komunikasi publik, bahwa kita sedang baik baik saja.

Sampaikan keadaan seobjektif mungkin agar rakyat sejak dini bisa bersiap menghadapi segala kemungkinan, dan bersatu padu.

Dari sisi teknokratis, hendaknya pemangku kebijakan fiskal dan moneter kian memperkuat kebijakan struktural perekonomian nasional, antara lain:

1. Memastikan tata kelola devisa, terutama devisa hasil ekspor sumber daya alam berjalan optimal untuk memperkuat cadangan devisa. Berikan kebijakan insentif dan sanksi yang sepadan untuk menopang tata kelola devisa nasional.

2. Terus melakukan reformasi pada sektor keuangan agar lebih inklusif, dan mendorong aliran modal asing semakin tumbuh.

Sebab aliran masuk investasi portofolio kembali positif pada triwulan II 2024 (sampai dengan 30 Mei 2024) secara neto tercatat sebesar 3,3 miliar dolar AS. Artinya peluang ini perlu terus di jaga oleh pemerintah dan BI.

3. Perketat kebijakan impor, terutama pada sektor sektor yang makin menggerus devisa, dan memukul sektor industri dan tenaga kerja. Importasi hendaknya difokuskan sebagai kebijakan jangka pendek untuk menambal defisit pangan dan energi yang terus berlanjut.

4. Pemerintah perlu memastikan SBN sebagai instrumen yang menarik bagi investor asing, dengan yield yang moderat agar tidak menjadi beban bunga.

Pemerintah juga perlu memastikan stand by buyer untuk SBN, sebab SBN telah menjelma menjadi sumber pembiayaan penting bagi kelangsungan APBN.

5. Pemerintah perlu memperluas dan makin kreatif untuk menopang kebutuhan pembiayaan ditengah likuiditas nasional dan global yang makin ketat dan terbatas.

Libatkan berbagai organisasi masyarakat dan asosiasi pengusaha yang menghimpun likuiditas besar ikut berpartisipasi dengan saling menguntungkan.

6. Berbagai kebijakan Bank Indonesia yang mengurangi USD sebagai pembayaran internasional, dengan membuat sejumlah local currency swab terasa belum terlihat outcomenya.

Untuk itu, Bank Indonesia perlu memastikan kebijakan ini sesegera mungkin dapat diandalkan, sehingga ketergantungan kita terhadap USD perlahan lahan bisa di kurangi.

7. Pemerintah dan Bank Indonesia perlu antisipasi kebutuhkan likuiditas valas terhadap kebutuhan pembayaran utang pemerintah, BUMN dan swasta dengan meningkatkan kebijakan hedging, agar tidak makin membebani sektor keuangan.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler